Rabu, 10 Maret 2010

Aturan Upawasa

ATURAN UPAWASA DI HINDU
Upawasa merupakan bagian brata, dan brata bagian dari brata-yoga-tapa-samadi, yang menjadi satu kesatuan dalam konsep Nyama Brata.
Kewajiban warga Hindu menggelar brata-yoga-tapa-samadi diisyaratkan dalam kakawin Arjuna Wiwaha sebagai berikut:
"Hana mara janma tan papihutang brata-yoga-tapa-samadi angetul aminta wiryya suka ning Widhi sahasaika, binalikaken purih nika lewih tinemuiya lara, sinakitaning rajah tamah inandehaning prihati."
Artinya:
Ada orang yang tidak pernah melaksanakan brata-yoga-tapa-samadi, dengan lancang ia memohon kesenangan kepada Widhi (dengan memaksa) maka ditolaklah harapannya itu sehingga akhirnya ia menemui penderitaan dan kesedihan, disakiti oleh sifat-sifat rajah (angkara murka/ambisius) dan tamah (malas dan loba), ditindih oleh rasa sakit hati.
Tegasnya, bila ada orang yang tidak pernah menggelar brata-yoga-tapa-samadi lalu memohon sesuatu kepada Hyang Widhi maka permohonannya itu akan ditolak bahkan akan mendatangkan penderitaan baginya.
Yang dimaksud dengan brata adalah mengekang hawa nafsu pancaindra, yoga adalah tepekur merenungi kebesaran Hyang Widhi; tapa adalah pengendalian diri; samadi adalah mengosongkan pikiran dan penyerahan diri total sepenuhnya pada kehendak Hyang Widhi.Jadi berpuasa yang baik senantiasa disertai dengan kegiatan lainnya seperti di atas, tidak dapat berdiri sendiri.
Upawasa batal jika melanggar/tidak melaksanakan brata-yoga-tapa-samadi. Untuk kesempurnaan berpuasa, disertai juga dengan ber-dana punia, yaitu memberikan bantuan materi kepada kaum miskin.
Aturan-aturan berpuasa bermacam-macam, antara lain:
1. Upawasa yang dilaksanakan dalam jangka panjang lebih dari sehari, di mana pada waktu siang tidak makan/minum apa pun. Yang dinamakan siang adalah sejak hilangnya bintang timur daerah timur sampai timbulnya bintang-bintang di sore hari;
2. Upawasa jangka panjang antara 3-7 hari dengan hanya memakan nasi putih tiga kepel setiap enam jam dan air klungah nyuh gading;
3. Upawasa jangka pendek selama 24 jam tidak makan/minum apa pun disertai dengan mona (tidak berbicara), dilaksanakan ketika Siwaratri dan sipeng (Nyepi);
4. Upawasa total jangka pendek selama 24 jam dilaksanakan oleh para wiku setahun sekali untuk menebus dosa-dosa karena memakan sesuatu yang dilarang tanpa sengaja; puasa itu dinamakan santapana atau kricchara; 5. Upawasa total jangka pendek selama 24 jam dilaksanakan oleh para wiku setiap bulan untuk meningkatkan kesuciannya, dinamakan candrayana.
Ketika akan mulai berpuasa sucikan dahulu badan dan rohani dengan upacara majaya-jaya (jika dipimpin pandita) atau maprayascita jika dilakukan sendiri. Setelah itu haturkan banten tegteg daksina peras ajuman untuk menstanakan Hyang Widhi yang dimohon menyaksikan puasa kita.
Ucapkan mantram:
Om Trayambakan ya jamahe sugandim pushti wardanam, urwaru kam jwa bandanat, mrityor muksya mamritat,
Om ayu werdi yasa werdi, werdi pradnyan suka sriam, dharma santana werdisyat santute sapta werdayah,
Om yawan meraustitho dewam yawad gangga mahitale candrarko gagane yawat, tawad wa wiyayi bhawet.
Om dirgayuastu tatastu astu,
Om awignamastu tatastu astu,
Om subhamastu tatastu astu,
Om sukham bawantu,
Om sriam bawantu,
Om purnam bawantu,
Om ksama sampurna ya namah,
Om hrang hring sah parama siwa aditya ya namah swaha.
Artinya,
"Ya, Hyang Widhi, hamba memuja-Mu, hindarkanlah hamba dari perbuatan dosa dan bebaskanlah hamba dari marabahaya dan maut karena hanya kepada-Mu-lah hamba pasrahkan kehidupan ini, tiada yang lain.
Semoga Hyang Widhi melimpahkan kebaikan, umur panjang, kepandaian, kesenangan, kebahagiaan, jalan menuju dharma dan perolehan keturunan, semuanya adalah tujuh pertambahan.
Selama Iswara bersemayam di puncak Mahameru (selama Gunung Himalaya tegak berdiri), selama Sungai Gangga mengalir di dunia ini, selama matahari dan bulan berada di angkasa, semoga selama itu hamba sujud kepada-Mu, ya Hyang Widhi."

Om Shanti Shanti Shanti Om ….
Sumber: Sarad

Selasa, 16 Februari 2010

Persembahan

Oleh Made Mariana, Abu Dhabi
Om Swastyastu
Inti dari semua aktivitas spiritual Hindu adalah untuk mencapai keharmonisan, kedamaian, keindahan dan keseimbangan. Untuk itu umat Hindu menjalani aktivitas spritualnya sehari-hari selaras dengan alam samesta. “Being Spritual is Being Natural”
Untuk menciptakan dan menjaga keseimbangan dan keharmonisan. Upaya ini dilakukan dengan mengimplementasikan ajaran Tri Hita Karana (Tiga keharmonisan hubungan yang membawa pada kebahagiaan) yaitu:
1. Parahyangan.
menjaga keharmonisan hubungan dengan Beliau-Beliau yang lebih tinggi dan sangat dihormati dan dimuliakan yaitu: Leluhurnya, Sinar Suci Tuhan (Dewa) dan Tuhan.
2. Pawongan.
Menjaga keharmonisan hubungan dengan sesama manusia, “Tat Twam Asi” Kamu adalah aku. “Vasudaiva kutum bakam” Semua manusia dilahirkan bersaudara. Dengan saling mengembangkan sikap tepo seliro, hormat menghormati dan saling menghargai semua perbedaan yang dimiliki, dan menyadari bahwa manusia adalah mahluk social, satu sama lain saling mendukung dan membutuhkan guna pencapaian kesuksesan di bidang masing-masing
3. Palemahan.
Menciptakan dan menjaga keharmonisan hubungan dengan alam samesta beserta isinya. Dengan tidak melakukan pencemaran, tidak melakukan polusi dengan tindakan, kata-kata dan pikiran. Menjaga kelestarian alam dan species-species tanaman dan hewan langka.
Salah satu aktivitas menuju Parahyangan (Beliau yang lebih tinggi) adalah dengan persembahan. Persembahan berasal dari kata “sembah” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan dari Diknas Indonesia yang artinya: pernyataan hormat dan khidmat (dinyatakan dng cara menangkupkan kedua belah tangan atau menyusun jari sepuluh, lalu mengangkatnya hingga ke bawah dagu atau dng menyentuhkan ibu jari ke hidung) mengangkat -- , menghormat dng sembah; 2 kl kata atau perkataan yg ditujukan kpd orang yg dimuliakan
“Persembahan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan artinya:per·sem·bah·an n 1 hadiah; pemberian (kpd orang yg terhormat)
Jadi inti dari persembahan adalah hadiah atau pemberian kepada yang dihormati, dalam hal ini adalah Persembahan Kepada Leluhur, Sinar Suci Tuhan (Dewa), Tuhan. Melakukan pemberian sesungguhnya adalah melakukan pengorbanan, apabila pemberian ini atau hadiah ini tanpa disertai dengan motif apapun (baca: ikhlas), maka ini disebut dengan Yadnya.
Landasan spiritual untuk melakukan persembahan ini dimuat dalam berbagai kitab yang dijelaskan sbb:
1) Dewanrsin manusyamsca pitrn grhyasca dewatah pujayitwa tatah pascad Grhastha sesabhugbha (Manawa Dharmasastra III.117)
Maksudnya: Setelah melakukan persembahan kepada Dewa manifestasi Tuhan, kepada para Resi, leluhur yang telah suci (Dewa Pitara), kepada Dewa penjaga rumah dan juga kepada tamu. Setelah itu barulah pemilik rumah makan. Dengan demikian ia lepas dari dosa.
2) Dalam Bhagawad Gita III.13 dinyatakan, makanlah setelah melakukan yadnya. Dalam sloka Bhagawad Gita itu dinyatakan dengan istilah yadnyasistasinah, yang artinya “makanlah setelah beryadnya”. Yang makan setelah ber-yadnya akan lepas dan dosa. Mereka yang makan tanpa ber-yadnya sebelumnya sesungguhnya makan dosanya sendiri.
Jadi apapun yang dimakan hendaknya dipersembahkan terlebih dahulu, bagi mereka yang memilih jalan vegetarian, persembahkanlah makanan vegetarian, demikian pula mereka yang memilih jalan non vegetarian persembahkanlah makanan yang non vegetarian, jangan makan sebelum dipersembahkan terlebih dahulu pada Tuhan yang mengkaruniakan makanan untuk kita semua.
Lebih lanjut dalam Maitri Upanisad (VI, 36) dikatakan, "Karena itulah seseorang semestinyalah Menghaturkan yajna di kuil dengan wirama suci, rempah, gehi, (kurban) daging, kue-kue, nasi yang sudah ditanak dan sebangsanya, dan juga dengan makanan minuman yang dimasukkan ke dalam mulut, karena memahami mulut sebagai api ahavaniya, supaya diberikan kelimpahan tenaga/kekuatan untuk merenungkan dunia kesucian dan untuk keabadian."
Kalo kita melihat dari sumber-sumber yang tersedia di nusantara kita akan dapati pula landasan ini pada Kakawin Râmâyana yang ditulis abad ke-9 di Jawa, yang sampai kini tetap dibaca dalam tradisi nyastra di Bali.
Dikisahkan Raja Dasaratha ber- yajnya untuk mendapatkan putra utama. Dia mengundang orang suci, Rsi Asrengga, menghaturkan sesajen kepada Tuhan. Bahan utama upacara yajnya tersebut dibuat dari sarana pilihan. Upakara-nya disyairkan sebagai berikut:
a. Sajining yajnya ta humadang, sri wreksa samidha puspa ghanda phala, dadhi greta kresnatila madu, mwang kumbha kusagra wreti wetih (Sargah I : 24)
(Sesajen telah disediakan, kayu cendana kering, bunga-bungaan, harum-haruman, air susu, mentega, biji hitam, madu, tempayan, rumput alang-alang, dan gambar suci).
Sang Hyang Kunda pinuja, caru makulilingan samatsya-mangsa dadi, kalawan sekul niwedya, inames salwiring marasa (Sargah I : 28).
{Dewa Agni dipuja dalam tungku pemujaan, dikelilingi caru (sesajen berupa makanan enak) yang terbuat dari ikan, daging, dan nasi. Sesajen itu diolah dengan bumbu yang menimbulkan nasa enak}.
b. Ri sedeng Sang Hyang dumilah, niniwedyaken nikanang niwedya kabeh, osadi len phala mula, mwang kambang gandha dupadi (Sangah 1:29).
(Ketika api suci telah menyala, dipersembahkanlah semua sesajen. Obat-obatan, buah-buahan, umbi-umbian, bunga, harum-haruman, dupa, dan yang lainnya).
Caru, seperti dimaksud dalam bait kakawin Râmàyana tadi, adalah persembahan makanan enak, yakni nasi dengan lauk-pauk olahan sayuran, buah-buahan, umbi-umbian, daging ikan (matsya) dan daging hewan (mangsa) pilihan yang dimasak dengan berbagai bumbu. Mengingat kakawin Ràmàyana ditulis di Jawa abad ke-9, maka caru dimaksud boleh jadi adalah makanan khas Jawa Kuno. Ingat juga tumpengan. Adakah itu berhubungan dengan tradisi ngelawar dan macaru di Bali?
Dikisahkan pula, lungsuran istilah lainnya prasadam (caru atau sesajen yang telah dipersembahkan) itu kemudian disuguhkan guna dinikmati ketiga permaisuri Raja Dasaratha. Akibat mempersembahkan caru yang dipandang utama itu, dia berhasil memperoleh kerahayuan berupa putra utama: Ràmà, Bhàrata, Laksamana, dan Satrughna.
Persembahan dikatakan baik apabila bahan persembahan diperoleh dengan pandangan dan cara benar; lalu diproses dan dipersembahkan dengan pandangan dan cara benar; Disertai dengan niat tulus tanpa ada pamrih (ikhlas) dan kemudian terbukti pula bahwa hasil persembahan itu adalah kerahayuan.
Diperoleh dengan pandangan dan cara yang benar maksudnya: Sesuatu yang dipersembahkan tidak diperoleh melalui mencuri, merampok, korupsi, nepotisme, kolusi, menipu, dan lain-lain, melainkan melalui Kerja (usaha sendiri).
Diproses dan dipersembahkan dengan pandangan dan cara yang benar: Mengikuti aturan tradisi atau jalan (agama) yang ditempuh. Dengan niat yang tulus ikhlas tanpa ada tujuan untuk mencari keuntungan pribadi seperti: nama baik, kemenangan, kemasyuran, dll
Catatan tradisi Bali yang berisi ajaran tentang sistem bersaji dan ketentuan sarana sesajinya dapat ditemukan terutama dalam jenis lontar keagamaan yang tergolong lontar yajnya, disebut Kalpasastra, seperti Jadma Prawreti, Dewa Tattwa, Bhamakertih, Yama Tattwa, Yama Purwana Tattwa, Pelutuk Bebanten, dan lainnya. Dalam lontar dimaksud disebut-sebut, sarana upacara dapat dibuat dari:
(1) mantiga (telur atau yang bertelor);
(2) mantaya (yang tumbuh atau tumbuh-tumbuhan); dan
(3) maharya (yang beranak-pinak atau binatang piaraan dan hasil buruan).
Dalam lontar Wasistha Tattwa (sloka 38-41) dijelaskan, sang raja atau pemimpin sebelum bersantap diwajibkan sembahyang terlebih dahulu dengan:
macarwa ring dewa mwang ring sarwa bhuta, nyata hamanggih suka sira, mwang wirya magong
(mempersembahkan makanan enak kepada dewa dan kepada para bhuta. Dengan cara bakti demikian sang Raja dinyatakan akan mendapatkan kemakmuran dan kebahagian hidup).
Tradisi yang baik ini adalah untuk menjaga keharmonisan baik secara vertikal (Parahyangan dan Palemahan). Oleh karenanya kita sebelum menyantap makanan mesti melakukan persembahan, yang sering disebut dengan ngejot atau Banten saiban.
Adapun daging (makanan) yang baik dipersembahkan dan kemudian dimakan sang pemimpin dijelaskan:
“Nihan ikang sinangguh mangsa rahayu tadahen de sang prabhu, lwirnya, iwak tasik, bhawi, buron, tawon, wedhus, itik, bantiga “
(Ini adalah daging yang baik dimakan sang pemimpin, yaitu ikan laut, daging babi, daging binatang buruan, tawon, daging kambing, daging itik, dan telor).
Sementara daging yang dipandang nista - karena itu tidak baik dimakan sang pemimpin - adalah daging. tikus, kadal, ular, anjing, dan daging katak. Pimpinan itu teladan masyarakat. Jika makan daging itu baik atau buruk bagi pemimpin, tentu baik atau buruk pula bagi masyarakat.
Mempersembahkan sesajen dengan lauk-pauk olahan daging terdapat hampir di seluruh tradisi religius masyarakat di Nusantara.
Dan, upacara yajnya dengan mempersembahkan olahan daging jelas tersurat dalam kitab suci Weda. Rg. Weda I.161, mantra 1-22, misalnya, memuat amanat tentang kurban kuda aswamedha yajnya. Mantra 9-13 diterjemahkan sebagai berikut:
“Daging kuda yang dimakan lezat, atau yang melekat pada tonggak atau kapak, atau daging yang menempel pada tangan dan kuku pemotong, di antara dewa-dewa, juga semua sudah siap.”
“Kotoran yang keluar dari ususnya, dan bau daging mentah masih tercium, semua itu supaya dibersihkan oleh pelaksana kurban, dan menyiapkan makanan matang untuk persembahan”.
“Apa yang menetes dari daging yang sedang diguling di atas panggangan, jangan dibiarkan ada tercecer ke tanah atau di rumput, haturkan semua kepada dewa.”
“Mereka yang melihat daging kuda yang telah dimasak berseru: Baunya sedap, angkat. Dan, daging yang empuk ini siap dibagi. Mudah-mudahan semua ini memperlancar kerja kami.”
“Garpu untuk masak daging dikaldron, mangkok-mangkok tempat sop, pot-pot pemanas, tutup piring, centong, pinggan berukir, semua disiapkan untuk kurban kuda.”
Secara didaktis moralis, mempersembahkan binatang kurban adalah ungkapan simbolik yang mengandung makna yajnya (kurban suci), yakni mengurbankan sifat-sifat binatang yang secara potensial ada bila dibiarkan, ia cenderung berkembang biak, beranak pinak dalam diri setiap orang.
Hari Raya Galungan pada penampahan Galungan, banyak Babi yang dijadikan korban untuk persembahan. Babi memiliki sifat tamas dan rajas yang sangat kuat. Maknanya adalah sebelum persembahyangan dilakukan pada hari raya Galungan maka sifat-sifat tamas dan rajas itu harus dibunuh dan ditelan mulai dari Hari Penampahan.
Dalam konteks ini, yajnya juga berarti menumbuh-kembangkan karakter luhur. Caranya: menghindari perbuatan buruk (dalam pikiran, perkataan, dan tingkah laku), bergaul dengan orang-orang baik, tekun mendengarkan dan merenungkan makna wacana suci, serta selalu berusaha mengamalkan nilai-nilai luhur demi kebahagiaan bersama, baik dengan sesama maupun dengan lingkungan alam.
Dikatakan pula, itu hanya mungkin bila dalam diri kita masing-masing bertumbuh rasa cinta kasih. Kasih adalah citra Tuhan. Demikianlah cara yang dianjurkan agama. Maka, dengan senjata kasih itu pula orang dapat mengendalikan egonya.
Kasih dan Ego menempati satu bilik yang sama, Bila ego muncul maka kasih akan lenyap demikian sebaliknya.
Apasih Ego itu sesungguhnya…?
Secara sederhana Ego = Separateness bisa dimaknai sebagai merasa beda dengan orang lain. Bisa merasa lebih bagus ini menuju pada sombong dan angkuh, marah, lobha, yang memupuk sifat merendahkan orang lain. Memandang remeh orang lain, Mengambil hak orang lain
Ego dimana dia merasa lebih rendah dari orang lain akan menghasilkan sifat rendah diri, minder, grogi, gugup sehingga tidak bisa focus dan tidak bisa optimal dalam mencapai sesuatu.
Sri Kreshna lewat percakapan suci dengan Arjuna dalam Bhagawadgita XIV.21 mengajar, ada tiga wujud utama ego:
(1) kàma (nafsu atau ambisi duniawi yang berlebihan);
(2) krodha (kemarahan); dan
(3) lobha (kerakusan).
Pada level tertentu dan terkendali Ego itu bermanfaat untuk memacu semangat untuk maju, untuk meraih prestasi. Namun perlu diketahui ego ini jangan sampai tidak terkendali, karena dia sungguh musuh yang sangat sakti mandra guna, bisa mewujudkan diri dalam berbagai bentuk dan rupa yang siap memberangus kita manusia.
Ego dapat dikendalikan dengan memupuk rasa toleransi dan tepo seliro, menghargai bahwa setiap orang itu adalah sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangannya. Menyadari bahwa kita adalah menempati rumah yang sama yaitu alam samesta. Dan peran serta kita dalam menjaga alam itu sama-sama pentingnya. Kita membutuhkan satu sama lain untuk mencapai sukses bersinergi meraih cita dan cinta.
Dengan melakukan pelayanan (Seva) tanpa memandang posisi dan jabatan dalam masyarakat pun bisa melatih untuk mengurangi pengaruh negative dari Ego.
Mengambil tanggung jawab atas apapun yang dipandang patut untuk dilakukan seperti: melihat halaman pura kotor, segera bersihkan, Melihat sampah berserakan di kantor atau di rumah segera bersihkan jangan tunggu pembantu atau cleaning service datang membersihkan. Mahatma Gandhi selalu mencontohkan dalam prilakunya seperti ketika dia melakukan perjalanan dari kota-ke kota lainnya di India, tiap kali dia melihat WC kotor dia selalu membersihkannya terlebih dahulu, katanya; WC kotor ini kan menjadi sarang penyakit bagi saudara-saudara kita, bagi anak dan generasi kita, juga bagi alam ini, tentu saja pada akhirnya datang pada kita.
Output nyata dari semua aktivitas spiritual itu akan tampak pada perkataan yang halus menyejukkan, tindakan dan sikap yang tepat tidak menyakiti mahluk lain, bermanfaat bagi diri dan mahluk lain serta alam samesta, pikiran yang bersih dan jernih.

Om Shanti Shanti Shanti Om …

Minggu, 31 Januari 2010

Pitra Yadnya

Om Swastyastyu ….
PITRA – YADNYA – Bagian VI
Oleh Bp. Mangku Sudiada

Untuk Pitra-Yadnya bagian ke VI ini, sebelum kita mulai dengan Doa doanya, mari kita lihat terlebih dahulu sarana dan prasarana yang kita harapkan ada pada saat melaksanakan titip di Pertiwi maupun titip di Geni.
A. PRASARANA YANG DIPERLUKAN.
1. Tempat Memandikan Jenazah ( pepaga / dipan / bangku / meja).
2. Kain putih
- Untuk leluhur Ulap-ulap : 1 m
- Untuk Udeng : 1 m
- Untuk angkep rai : 30 cm2
- Untuk angkep baga : 30 cm2
- Kain kamben pria : 2 m2 saput : 1,5 m2.
- Kain kamben wanita : 2 m2 dan tapih 1,5 m2.
Perempuan selendang.
- Untuk sabuk kain : 10 cm X 1,5 (pria maupun wanita )
- Untuk sabuk saput : sama dengan yang diatas.
- Untuk penggulung Jenazah : 3,5 X 1,25
- Untuk Rantasan : 3 m ( putih kuning )
- Untuk dalam peti : 7 m
- Untuk tali pengikat : 3 m
- Untuk kain rurub : secukupnya.
3. Carang dapdap untuk tiang leluhur.
4. Tikar untuk alas memandikan
5. Ember & gayung untuk nyiraman
6. Peti mati & kereta Jenazah
7. Bantal kecil.
8. Pisau untuk mengerik kuku.
9. Lubang bila dikubur.
B. SARANA YANG DIPERGUNAKAN.
1. Untuk pebersihan
- Sisig dari beras yang dibakar
- Ambuh dari santan kelapa.
- Minyak rambut dan sisir
- Kekosok dan boreh dari beras kuning
- Gadung, bunga tunjung, kapas, daun intaran, bunga menur, sikapa, waja, pecahan cermin, daun tuwung, bunga-bunga, kwanngen, pemblonyoh putih kuning.
- Telor.
2. Air: Air biasa, & air kembang.
3. Sabun mandi dan handuk
4. Kapas untuk mayat yang luka luka dan perban
5. Benang itik itik (tali)
6. Momon cincin (permata).
C. BEBANTEN UNTUK UPACARA.
1. Upacara memandikan.
- Ke-Surya : Pejatian Daksina, Pras, Ajuman, Ketipat kelanan, canang sari & segehan.
- Ke – Kawitan : Pejatian.
- di Labuh / lebuh : Segehan.
- Banten Nunas tirta ke Pura-pura : Pejatian.
- Saji Tarpana : Punjung, Bubur pirata, Canang,
Setelah selesai mandi kain rantasan, cecepan / tempat air & segehan di teben sawa.
- Kwangen : pengrekaan 7 buah.
- Sekar ura : Beras kuning, samam dari daun pandan/temen pudak uang.
- Banten arepan : Peras daksina canang segehan.
- Tirta Pebersihan, penglukatan, Pengringkes.
- Banten Prastita, daksina, sasat, canang untuk peti.
2. Bebanten untuk di kubur.
- Ke Prajapati : Pejatian, pras, daksina,ajuman, tipat kelanan, canang, segehan
- Ke Pura Dalem : Pejatian
- Ke Pertiwi : Pras daksina segehan canang.
- Bangbang : Pras daksina segehan.
- Arepan : Pras Daksina, ajuman, segehan.
3. Untuk di Perabukan/Mekingsan di Geni.
- Ke Prajapati : Pejatian.
- Ke Surya : Pejatian
- Ke Dalem : Pejatian
- Ke pemuhun : Daksina, canang sari, segehan
- Tarpana : Daksina, bubur pirata, beras catur warna, segehan nasi angkep
- Kain putih
: ulap ulap – 1 m
: Pengerekaan
: Rantasan putih kuning
: kain putih kuning di Surya
: Pembungkus pengadeg Pitare
- Arepan : Pras daksina, canang segehan.
Setelah selesai megeseng :
- Banten penyub : Pras daksina, segehan, canang yeh anyar, air kembang.
4. Ngirim Nganyut.
- Ke Surya : Pejatian
- Arepan : Pras, daksina canang sari, segehan.
- Tarpana : Daksina, oda putih kuning, bubur pirata, canang sari, segehan
- Kwangen : 22 bua untuk pengrekaan.
- Untuk disegara : Pras daksina, canang segehan.
5. Banten Pebesihan
- Untuk Warga Perayascita ( ditempat )
- Untuk kedukaan dirumah Perayascita, caru ayam brumbun, dan reruntutannya setelah tiga hari.

Om Shanti Shanti Shanti ….

Pitra Yadnya

Om Swastyastyu ….

PITRA – YADNYA – Bagian V
Untuk Pitra-Yadnya bagian ke V ini Kita akan membahas masalah titip di Geni muang titip di Pertiwi, dengan bagian bagiannya adalah sebagai berikut :
a. Berangkat dari Rumah duka / Tempat duka / Rumah sakit kamar Jenazah.
b. Upacara keagamaan / Militer
c. Titip di Pertiwi
d. Titip di Geni.
e. Ngunya.
a) Jenazah berangkat dari rumah duka.
Jenazah diberangkatkan dari rumah duka menuju Kuburan / Setra, peti diusung dengan bagian kaki didepan dan kepala di belakang dengan berjalan secara pelan pelan, bagi Militer didahului denga militer,
Bila memakai Mobil Jenazah kepala ditaruh didepan, dan bagian kaki kearah belakang kendaraan.
Urut-urutan perjalanan.
- Paling depan Pengawal Jenazah ( for Rider )
- Kereta Jenazah / Mobil Jenazah.
- Rombongan para pengantar.
Didalam perjalanan sekar uranya ditaburkan sepanjang jalan sampai ke kuburan, sebagai perlambang permohonan ijin dalam perjalanan dari rumah duka menuju Kuburan.
Setelah sampai di kuburan peti Jenazahnya itu diputar putar tiga kali putarannya ( lihat posting sebelumnya ) mengelilingi lubang kuburan, kalau memang mau titip / mekingsan di pertiwi,
atau mengitari gegumuk kremasi kalau tempatnya memungkinkan untuk memutarinya, kalau tidak diputar putar saja selama tiga kali didepan alat krematori.
b) Upacara Agama / Militer.
Bila yang meninggal itu adalah militer atau keluarga militer, maka untuk acara ini biasanya didahulukan sehingga Mereka yang militer tidak terlalu lama untuk menunggu acara keagamaanya.
Rochaniawan, menghaturkan pesaksi ke Surya, Prajapati dan Pertiwi, Ke Pitare dan selanjutnya para saudara dan pengantar, berdoa bersama sama yang dipimpin oleh rochaniawan
c) Titip di Pertiwi.
Setelah upacara militer selesi dalam rangka pelepasan untuk terakhir kalinya, maka diteruskan kemudian dengan cara keagamaan, yang diawali dengan pencucian Bangbang terlebih dahulu, diteruskan dengan penurunan Peti Jenazah/ mayat, dengan catatan kepala menghadap Keadya ( kaja) dalam artian ke arah gunung, dan kehulu kearah matahari terbit ( kangin ), setelah itu baru kemudian di timbun oleh para Perti sentana / keluarga kamudian diteruskan dengan keluarga terdekat, diteruskan oleh orang orang yang paling dekat selama hidup almarhum, selanjutnya oleh para petugas.
Rochaniawan, menghaturkan pesaksi ke Surya, Prajapati dan Pertiwi, Ke Pitare dan selanjutnya para saudara dan pengantar, berdoa bersama sama yang dipinpin oleh rochaniawan dan penguburan pun selesai.
Selanjutnya Warga meperayastita sebagai penyucian diri.
d) Mekingsan / titip diGeni.
Pelaksanaannya sama dengan penguburan mayat, hanya bedanya memprabukan ke Krematorium atau prabuan tradisional, Sama mayat diputar putar sebanyak tiga kali sama dengan diatas, setelah itu ditaruh pada sebuah tempat yang telah disediakan,
Bila militer didahului dengan upacara militer, kemudaian dilanjutkan dengan upacara keagamaan.
Pelaksanaan bila mekingsan di Geni, sama dengan dikubur hanya bedanya Jenazah dibakar. Setelah selesai melaksanaan perabuan, abu tulangnya disiram dengan air bersih, air kembang atau lajimnya dibali disebut air Kumkuman.
Setelah itu sebagian abunya dimasukan kedalam Klungah Nyuh gading.Sebagian di reka diatas kain putih kira kira satu meter, dan juga leluhur satu meter.
Ngereka yaitu menyusunan kembali tulang-tulangnya yang sudah menjadi abu, dibentuk seperti manusia kembali, kalau masih bisa, untuk dikepala, dikasi abu tempurung kepala, bagian tangan diberikan abutulang tangan demikian pula bagaian bagian anggota tubuh lainnya.
Ngereka yaitu menyusun kembali bentuk manusia yang diisi, diuripkan dengan Kwangen sebagai pengurip urip sebanyak 22 buah yang ditempatkan sebagai berkut.
- 9 buah kwangen dibagian kepala, membentuk daun padama ke semua arah penjuru.
- 7 buah Kwangen didada menghadap ke atas.
- 6 buah diletakkan samping kiri dan kanan.
Selanjutnya Rochaniawan memuja ke Prajapati Surya.
Dilanjutkan sesaju Terpana ke Pitara, dilanjutkan sembaha para sentana, diperciki tirta sesuai dengan urut urutan tirta ( lihat posting sebelumnya) kemudian abu tulang dibungkus dengan kain putih tersebut, diatasnya ditaruh kelapa gading yang diisi abu lalu diusung diputar kembali sebanyak tiga kali mengelilingi tempat upacara, selanjutnya menuju segara/ laut untuk dihanyutkan.
Sesampai di laut rochaniawan menghaturkan pesaksi ke Sang Hyang Baruna lalu diteruskan dengn penghanyutan terakhir. Maka Upacarapun selesai.
e) Ngunya Mendoakan Pitara / almarhum.
Umat mengadakan mepreyastita diadakan di rumah duka sebaiknya diadakan sebanyak tiga kali oleh warga ( lihat sikompyang ) situasi, kondisi dan jangkauan.
( lihat nanti Doa doa Ngunya Pitra Yadnya ke VI ) Doa pengantar bagi sang meninggal.
Setelah itu dilaksanakan, yang terakhirnya dilakukan dengan pencaruan memakai ayam Brumbun. ( eka sata)

Ainggih antuk Kumpulan doa doa bisa diikuti pada : Pitra-Yadnya ke VI.

Om Shanti Shanti Shanti ….

Sedikit Tentang Panca Aksara

Om Swastyastu ….

Lima Aksara "Na Ma Si Wa Ya", atau... tertulis dalam buku Thirumandiram "Na Ma Shi Vaa Ya", itu tahun 3000 SM, penyembahan kepada Shiwa, oleh seorang Rsi kuno Thirumoolar (nama lain Rsi Sundaranatha). Beliau adalah seorang Shida dari tradisi Kriya Yoga... Lima aksara ini ada sebelum Rsi ini ada. Sepertinya Rsi Agastya yang menyebarkannya ke Nusantara ini.

Jika kita memanisfestasikan sesuatu missal leak dalam diri kita sembari mengucapkan mantra primodial ini... maka kita akan menjadi leak, seperti niat awal. Mantra ini adalah roket pendorong... arah atau kemana perginya roket, kita-lah pilotnya.

Om Shanti Shanti Shanti Om ….

Sumber: Wayan Suasthana

Sabtu, 30 Januari 2010

Leak Pakai Panca Aksara

Om Swastyastu ….

Oleh Bp. Mangku Shri Danu

Bentuk Endih Leak
Leak merupakan suatu ilmu kuno yang diwariskan oleh leluhur Hindu di Bali. Pada zaman sekarang ini orang bertanya-tanya apa betul leak itu ada?, apa betul leak itu menyakiti?
Secara umum leak itu tidak menyakiti, leak itu proses ilmu yang cukup bagus bagi yang berminat. Karena ilmu leak juga mempunyai etika-etika tersendiri. Tidak gampang mempelajari ilmu leak. Dibutuhkan kemampuan yang prima untuk mempelajari ilmu leak. Di masyarakat sering kali leak dicap menyakiti bahkan bisa membunuh manusia, padahal tidak seperti itu.
Ilmu leak juga sama dengan ilmu yang lainnya yang terdapat dalam lontar-lontar kuno Bali.
Dulu ilmu leak tidak sembarangan orang mempelajari, karena ilmu leak merupakan ilmu yang cukup rahasia sebagai pertahanan serangan dari musuh. Orang Bali Kuno yang mempelajari ilmu ini adalah para petinggi-petinggi raja disertai dengan bawahannya.Tujuannya untuk sebagai ilmu pertahanan dari musuh terutama serangan dari luar. Orang-orang yang mempelajari ilmu ini memilih tempat yang cukup rahasia, karena ilmu leak ini memang rahasia. Jadi tidak sembarangan orang yang mempelajari. Namun zaman telah berubah otomatis ilmu ini juga mengalami perubahan sesuai dengan zamannya. Namun esensinya sama dalam penerapan. Yang jelas ilmu leak tidak menyakiti. Yang menyakiti itu ilmu teluh atau nerangjana, inilah ilmu yang bersifat negatif, khusus untuk menyakiti orang karena beberapa hal seperti balas dendam, iri hati, ingin lebih unggul, ilmu inilah yang disebut pengiwa.
Ilmu pengiwa inilah yang banyak berkembang di kalangan masyarakat seringkali dicap sebagai ilmu leak. Seperti yang dikatakan diatas leak itu memang ada sesuai dengan tingkatan ilmunya termasuk dengan endih leak. Endih leak ini biasanya muncul pada saat mereka lagi latihan atau lagi bercengkrama dengan leak lainnya baik sejenis maupun lawan jenis. Munculnya endih itu pada saat malam hari khususnya tengah malam. Harinya pun hari tertentu tidak sembarangan orang menjalankan untuk melakukan ilmu tersebut.
Mengapa ditempat angker? Ini sesuai dengan ilmu leak dimana orang yang mempelajari ilmu ini harus di tempat yang sepi, biasanya di kuburan atau di tempat sepi. Endih ini bisa berupa fisik atau jnananya (rohnya) sendiri, karena ilmu ini tidak bisa disamaratakan bagi yang mempelajarinya. Untuk yang baru-baru belajar, endih itu adalah lidahnya sendiri dengan menggunakan mantra atau dengan sarana.
Dalam menjalankan ilmu ini dibutuhkan sedikit upacara. Sedangkan yang melalui jnananya (rohnya), pelaku menggunakan sukma atau intisari jiwa ilmu leak. Sehingga kelihatan seperti endih leak, padahal ia diam di rumahnya. Yang berjalan hanya jiwa atau suksma sendiri. Bentuk endih leak ini beraneka ragam sesuai dengan tingkatannya. Ada seperti bola, kurungan ayam, tergantung pakem (etika yang dipakai). Ilmu ini juga memegang etika yang harus dipatuhi oleh penganutnya.
Endih leak ini tidak sama dengan sinar penerangan lainnya, kalau endih leak ini biasanya tergantung dari yang melihatnya. Kalau yang pernah melihatnya, endih berjalan sesuai dengan arah mata angin, endih ini kelap-kelip tidak seperti penerangan lainnya hanya diam.
Warnanya pun berbeda, kalau endih leak itu melebihi dari satu warna dan endih itu berjalan sedangkan penerangan biasanya warna satu dan diam. Karena endih leak ini memiliki sifat gelombang elektromagnetik mempunyai daya magnet.
Ilmu leak tidak menyakiti. Orang yang kebetulan melihatnya tidak perlu waswas. Bersikap sewajarnya saja. Kalau takut melihat, ucapkanlah nama nama Tuhan. Endih ini tidak menyebabkan panas.
Dan endih tidak bisa dipakai untuk memasak karena sifatnya beda. Endih leak bersifat niskala, tidak bisa dijamah.

Leak Shoping di Kuburan
Padadasarnya, ilmu leak adalah ilmu kerohanian yang bertujuan untuk mencari pencerahan lewat aksara suci. Dalam aksara Bali tidak ada yang disebut leak. Yang ada adalah “liya, ak” yang berarti lima aksara (memasukan dan mengeluarkan kekuatan aksara dalam tubuh melalui tata cara tertentu). Lima aksara tersebut adalah Si, Wa, Ya, Na, Ma.
· Si adalah mencerminkan Tuhan
· Wa adalah anugrah
· Ya adalah jiwa
· Na adalah kekuatan yang menutupi kecerdasan
· Ma adalah egoisme yang membelenggu jiwa Kekuatan aksara ini disebut panca gni (lima api).
Manusia yang mempelajari kerohanian apa saja, apabila mencapai puncaknya dia pasti akan mengeluarkan cahaya (aura). Cahaya ini keluar melalui lima pintu indria tubuh yakni telinga, mata, mulut, ubun-ubun, serta kemaluan. Pada umumnya cahaya itu keluar lewat mata dan mulut. Sehingga apabila kita melihat orang di kuburan atau tempat sepi, api seolah-olah membakar rambut orang tersebut.
Pada prinsipnya, ilmu leak tidak mempelajari bagaimana cara menyakiti seseorang. Yang dipelajari adalah bagaimana mendapatkan sensasi ketika bermeditasi dalam perenungan aksara tersebut. Ketika sensasi itu datang, maka orang itu bisa jalan-jalan keluar tubuhnya melalui ngelekas atau ngerogo sukmo. Kata ngelekas artinya kontraksi batin agar badan astra kita bisa keluar. Ini pula alasannya orang ngeleak. Apabila sedang mempersiapkan puja batinnya disebut angeregep pengelekasan. Sampai di sini roh kita bisa jalan-jalan dalam bentuk cahaya yang umum disebut endih. Bola cahaya melesat dengan cepat. Endih ini adalah bagian dari badan astral manusia (badan ini tidak dibatasi oleh ruang dan waktu). Di sini pelaku bisa menikmati keindahan malam dalam dimensi batin yang lain.
Jangan salah, dalam dunia pengeleakan ada kode etiknya. Sebab tidak semua orang bisa melihat endih. Juga tidak sembarangan berani keluar dari tubuh kasar kalau tidak ada kepentingan mendesak. Peraturan yang lain juga ada seperti tidak boleh masuk atau dekat dengan orang mati.
Orang ngeleak hanya shoping-nya di kuburan (pemuwunan). Apabila ada mayat baru, anggota leak wajib datang ke kuburan untuk memberikan doa agar rohnya mendapat tempat yang baik sesuai karmanya.
Begini bunyi doa leak memberikan berkat:
“Ong, gni brahma anglebur panca maha butha, anglukat sarining merta. mulihankene kite ring betara guru, tumitis kita dadi manusia mahatama. ong rang sah, prete namah”.
Sambil membawa kelapa gading untuk dipercikan sebagai tirta. Nah, di sinilah ada perbedaan pandangan bagi orang awam. Dikatakan bahwa leak ke kuburan memakan mayat, atau meningkatkan ilmu. Kenapa harus di kuburan? Paham leak adalah apa pun status dirimu menjadi manusia, orang sakti, sarjana, kaya, miskin, akan berakhir di kuburan.

Tradisi sebagian orang di India tidak ada tempat tersuci selain di kuburan. Kenapa demikian? Di tempat inilah para roh berkumpul dalam pergolakan spirit. Di Bali kuburan dikatakan keramat, karena sering muncul hal-hal yang menyeramkan. Ini disebabkan karena kita jarang membuka lontar tatwaning ulun setra. Sehingga kita tidak tahu sebenarnya kuburan adalah tempat yang paling baik untuk bermeditasi dan memberikan berkat doa.
Sang Buda Kecapi, Mpu Kuturan, Gajah Mada, Diah Nateng Dirah, Mpu Bradah, semua mendapat pencerahan di kuburan.
Di Jawa tradisi ini disebut tirakat. Leak juga mempunyai keterbatasan tergantung dari tingkatan rohani yang dipelajari. Ada tujuh tingkatan leak. Leak barak (brahma). Leak ini baru bisa mengeluarkan cahaya merah api. Leak bulan, leak pemamoran, leak bunga, leak sari, leak cemeng rangdu, leak siwa klakah. Leak Siwa klakah inilah yang tertinggi. Sebab dari ketujuh cakranya mengeluarkan cahaya yang sesuai dengan kehendak batinnya.
Setiap tingkat mempunyai kekuatan tertentu. Di sinilah penganut leak sering kecele, ketika emosinya labil. Ilmu tersebut bisa membabi buta atau bumerang bagi dirinya sendiri.
Hal inilah membuat rusaknya nama perguruan. Sama halnya seperti pistol, salah pakai berbahaya. Makanya, kestabilan emosi sangat penting, dan disini sang guru sangat ketat sekali dalam memberikan pelajaran. Selama ini leak dijadikan kambing hitam sebagai biang ketakutan serta sumber penyakit, atau aji ugig bagi sebagian orang. Padahal ada aliran yang memang spesial mempelajari ilmu hitam disebut penestian. Ilmu ini memang dirancang bagaimana membikin celaka, sakit, dengan kekuatan batin hitam.
Ada pun caranya adalah dengan memancing kesalahan orang lain sehingga emosi. Setelah emosi barulah dia bereaksi. Emosi itu dijadikan pukulan balik bagi penestian. Ajaran penestian menggunakan ajian-ajian tertentu, seperti aji gni salembang, aji dungkul, aji sirep, aji penangkeb, aji pengenduh, aji teluh teranjana. Ini disebut pengiwa (tangan kiri).
Kenapa tangan kiri, sebab setiap menarik kekuatan selalu memasukan energi dari belahan badan kiri. Pengiwa banyak menggunakan rajah-rajah (tulisan mistik). Juga pintar membuat sakit dari jarak jauh, dan dijamin tidak bisa dirontgent di lab. Yang paling canggih adalah cetik (racun mistik). Aliran ini bertentangan dengan pengeleakan. Apabila perang, beginilah bunyi mantranya, “ong siwa gandu angimpus leak, siwa sumedang anundung leak, mapan aku mapawakan segara gni…bla…bla…..”
Ilmu Leak ini sampai saat ini masih berkembang karena pewarisnya masih ada, sebagai pelestarian budaya Hindu di Bali dan apabila ingin menyaksikan leak ngendih datanglah pada hari Kajeng Kliwon Enjitan di Kuburan pada saat tengah malam.

Om Shanti Shanti Shanti Om ….

Sumber: Lontar Panestian: koleksi pribadi

Jumat, 09 Oktober 2009

Meditasi Dasaksara

Om Swastyastu

MENGENAL MEDITASI DASA AKSARA

Meditasi ini sesungguhnya sudah dikenal sejak lama, dan sudah berkembang sejak jamannya Panca Pandita, Beliau adalah:
1. Mpu Gnijaya.
2. Mpu Ghana.
3. Mpu Semeru.
4. Mpu Kuturan.
5. Mpu Baradah.
Adapun konsep meditasi ini mengajak kita untuk lebih memahami diri kita, dengan melakukan pengkajian kedalam diri bukan keluar, dari mulai membedakan mana tubuh dan mana roh, sampai merubah sifat tubuh menjadi sifat roh.
Diharapkan ketika seseorang sudah berada pada tingkat mahir menerapkan meditasi ini, maka mereka akan merasakan tubuhnya yang diikat oleh sang roh, bukan sang roh yang diikat oleh sang tubuh. Karena Sang Panca Pandita yang digunakan sebagai guru spiritual meditasi ini, maka pada meditasi ini menekankan konsep Tri murti sebagai dasar keyakinannya, dan mewajibkan bagi mereka yang ingin mencoba menerapkan dan memperdalam meditasi 10 (dasa) aksara ini diwajibkan tangkil ( datang ) kecatur Kayangan untuk mohon restu kepada beliau.
Catur Kayangan yang dimaksud adalah:
· Pura Lempuyang, memohon restu kepada Mpu Gnijaya.
· Pura Besakih, memohon restu kepada Mpu Smeru.
· Pura Dasar Buana di Gelgel, memohon kepada Mpu Ghana.
· Pura Silayukti, Memohon restu kepada Mpu Kuturan.
Ajaran Tri murti dan meditasi 10 (dasa) aksara saling melengkapi, dimana mengajarkan kita memahami Tuhan dengan amat sederhana, dan menyederhanakan pikiran karena pikiranlah sumber dari segala keinginan, yang membawa kita pada penderitaan, bahkan kita semakin jauh dari tujuan hidup yaitu Moksa ( Pembebasan dari ketrikatan) dan tak jarang kita menjadi tidak percaya dengan Moksa (pembebasan) tersebut.
Trimurti dan Meditasi 10 (dasa) Aksara memberikan gambaran bahwa Hindu yang berkembang di Bali menjadi berbeda dengan yang ada di mana-mana, bahkan dengan yang ada di India, karena leluhur pendahulunya menggunakan aksara Dewa Nagari hasil perpaduan antara huruf Palwa dan sansekerta, akhirnya dari hasil persilangan tersebut melahirkan huruf baru menjadi: A, Na, Ca, Ra, Ka, Da, Ta, Sa, Wa, La,Ma, Ga, Ba, Tha, Nga, Pa, Dha, Ja, Ya, Nya.
Oleh Leluhur dijelaskan, bahwa dengan memahami huruf-huruf Dewa Nagari itu sesungguhnya kita bisa mengenal sekaligus memahami Tuhan dan ciptaanya.
Karena aksara tersebut diatas, sesungguhnya simbul-simbul dari bentuk alam yang diciptakan Tuhan, sekaligus ada di dalam tubuh Manusia. Dan untuk memahami sifat alam dan penciptannya leluhur memadukan akasara Dewa Nagari tersebut menjadi 10 (dasa) aksara yakni: Sang, Bang, Tang, Ang, IngNang, Mang, Sing, Wang, Yang.
Aksara-aksara inilah yang nantinya digunakan dalam meditasi, karena aksara-aksara ini sesungguhnya sudah menjadi sifat roh yang utama (Tuhan), dan agar kita bisa merasakan sifat rohani Tuhan, maka kita letakan simbul-simbul aksara tadi kedalam organ tubuh kita, dengan melakukan metode meditasi 10 aksara.
Ada 5 (lima) tahapan dalam melakukan meditasi 10 (dasa) aksara:
1. Menjadikan tubuh sama dengan alam, dengan cara mengosongkan segala keinginan, biarkan tubuh bekerja sesuai proses hukum sebab akibat, misal makan saat lapar, berhenti makan sebelum kenyang.
2. Bersihkan hati, karena di sana ada Tuhan yang disimbulkan dengan Ongkara Ngadeg, caranya dengan membersihkan hati dari segala iri dan dengki, emosi, serakah, dan kebodohan.
3. Bersihkan pikiran karena disana ada kekuatan Tuhan yang disimbulkan dengan Ongkara Sunsang, caranya lakukan sangkirtanam ( menyebut nama Tuhan), hingga pikiran hanya terisi nama dan sifat Tuhan.
4. Meditasi 10 (dasa) aksara.
5. Melakukan perenungan kedalam untuk mendapat pencerahan.
Dengan menerapkan Trimurti dan meditasi 10 (dasa) aksara, membuktikan bahwa Hindu di Bali sesungguhnya amat sederhana dan amat fleksibel dan tidak ada sedikit pun menyimpang dari Weda. Dan menurut sistem (metode ini) justru moksa dalam Tri murti (pembebasan) akan dicapai, apa bila terbebas dari segala perbedaan yang ada di dunia tanpa menyamakannya.

Satyam Evam Jayathe,
Om Shanti Shanti Shanti Om ….

Sumber: disunting dari Buku Meditasi Adhyatmika