Rabu, 22 Juli 2009

Pitra Yadnya

PITRA – YADNYA – Bagian IV

Pada bagian Pitra Yadnya yang ke I telah kita lewati : yaitu berkaitan dengan “Wahya”
Sedangkan untuk Pitrayadnya yang ke II sudah kita tinjau dari sisi “Ahdyatmikanya”.
Pitra-Yadnya yang ke III. Berkaitan dengan makna dan Symbolisasi.

Jadi untuk Pitra-Yadnya yang ke IV kita akan bahas khusus memandikan Jenazah.

PELAKSANAAN MEMANDIKAN JENAZAH.
1. Jenazah dibawa ketempat memandikan ( pepagan, dipan, Meja, atau dirumah sakit )
- Pakaiannya dibuka, mukanya ditutup dengan angkeb rai, dan kemaluannya ditutup dengan tutup baga.
- Pelaksanaan pemandian dilaksanakan oleh rohaniawan
- Pertama tama tutup muka dibuka, mulai dengan sisig dari beras yang dibakar, dilanjutkan kramas dengan santan kelapa.
- Siram dengan air bersih disabun sampai bersih, lalu dilap dengan handuk.

Memasang reramuan.
- Kekosok seluruh badan
- Boreh dan pemblonyoh, putih dikepala, kuning di kaki
- Kerik kuku tangan dan kaki
- Disiram dengan air kembang/wangi, lalu digelinding dengan telur ayam mentah dari kepala sampai kekaki.

2. Etik – etik pembersihan.
- Daun intaran : Pada alis / kening
- Gadung / sekapa : Pada dada.
- Pusuh menur : Pada lubang hidung
- Pecahan cermin : Pada mata
- Waja : Pada Gigi
- Daun tuwung : Pada kemaluan laki laki
- Bunga tunjung : Pada kemaluan wanita.
Kesemuanya ini tujuannya adalah untuk kesempurnaan unsur unsur Panca Indriya.

3. Bebek :
Boreh dan anget anget dipasang pada perut, maksudnya untuk menikmati kesucian.
Minyak wangi di rambut kepala.

4. Kwangen :
- Satu buah dipasang di kepala.
- Satu buah dipasang diuluhati
- Satu buah dipasang didada
- Dua buah dipasang di tangan kanan & kiri.
- Dua buah dilutut kanan dan kiri.

5. Mengenakan kain.
- Pertama tama kain, lalu sabuk
- Kedua sesaputan dengan sabuknya.
- Udeng
- Tangan dan kaki meitik itik ( Ibu jari kedua tangan dan ibu jari kedua kaki )
- Rohaniawan maktiang ke Surya, setelah itu metirta
- Ngayab bubur pirata, nasi angkeb dan saji.

6. Mepegat ( Lihat symbol / makna mepegat )
Mepegat dilaksanakan apabila, langsung pelaksanaan penguburan / perabuan.
Bagi keluarganya ngebaktiyang.

7. Ngeringkes Sawa
Setelah meitik –itik lalu digulung / dibungkus dengan kain putih ( kain pengelelet ).
Dipocong, satu diikat dikepala, kedua diikat dibadan, dan ketiga di kaki. Setelah itu Jenazah dimasukan kedalam peti, ditaruh seperti orang tidur dengan bantal kecil di kepala. Didekat kepala ditaruh daksina Pejatian, canang, beras catur warna, segehan diluar peti / teben.

8. Maktiang ke Surya :
Setelah mayat dimasukan kedalam peti, dan ditaruh pada tempat yang telah disediakan, maka petugas rohaniawan menjalankan upacara. Memercikan tirta tirta pebersihan, Pengelukatan, dan tirta tirta dari Kahyangan, selanjutnya para sanak saudaranya menyembah, setelah itu baru kemudian bungkusnya dirapihkan, dan barang barang yang diperlukan ditaruh didalamnya yang diperlukan ntuk bekelnya.
Kemudian tutup petinya dipasang, sebelum berangkat, maka para keluarganya mepegat, masuk kebawah peti Jenazah dari arah kaki kekepala, berputar kekiri sebanyak tiga kali sebagai perpisahan untuk melepas kepergian sang yang meninggal ( mati – nggal )
Selanjutnya berangkat kekuburan.

Selanjutnya…..Menguburkan / Memprabukan. Pitra-Yadnya ke V.
JMS.

Pitra Yadnya

PITRA – YADNYA – Bagian III

Pada bagian Pitra Yadnya yang ke I telah kita lewati : yaitu berkaitan dengan “Wahya”. Sedangkan untuk Pitrayadnya yang ke II sudah kita tinjau dari sisi “Ahdyatmikanya”.
Sebelum kita mulai terjun ke Upakaranya, mari kita lihat dulu makna dan simbolisasi dalam Upakara ini sehingga kita tidak akan bingung dengan adanya istilah istilah yang akan muncul.

1. Memandikan Jenazah :
Upakara memandikan Jenazah dengan peralatan dan tatacaranya disebut dengan Atiwa-tiwa, yang bermakna bahwa orang yang meninggal itu “mepeningan” atau mesucian, karena arwahnya akan meninggalkan Bhuh loka menuju Bhwah loka, yaitu alam pitara atau alam astral.

2. Meletakan Jenazah dibalai.
Ini bermakna, orang yang meninggal itu, kini telah siap untuk menerima pengabenan, yang diperuntukan kepadanya.

3. Ngendag atau ngulapin ke Setra.
Ini melambangkan atau memberitahukan kepada roch, Informasi bahwa orang yang di abenkan itu, diulapin / diajak pulang untuk diabenkan.

4. Mapegat.
Upacara ini mengandung makna menghilangkan mala atau kotoran pada sang Atma, supaya tidak lagi dilekati, oleh kotoran, maupun hal hal yang istimewa semasa hidupnya, sehingga hal ini tidak menyebabkan lantud pemarginya Sang Atma.

5. Melaspas Petulangan.
Ini bermakna membersihkan atau Nyapsap pekerjaan tukang wadah dan tukang petulangan.

6. Melebu Atau mekutang.
Bermakna membuang kotoran yang melekati sang Atma, termasuk pula stula sarira atau jasad manusia. Jasad manusia yang berasal dari unsur unsur Panca Maha Buta, dikembalikan ke asalnya yaitu Panca Maha Buta Agung, yaitu alam semesta ini yang disebut dengan Bhuh Loka.

7. Pemutaran Jenazah.
Jenasah diputar tigakali kekiri pada waktu berangkat dari rumah, pada persimpangan jalan, dan setelah sampai di Setra. Perputaran kekiri adalah simbolisasi turun. Kalau putaran kekanan adalah simbolisasi naik. Itulah sebabnya ada dua arah perputaran dalam upacara agama, yaitu Purwa Daksina perputaran kekanan, dan Presawiya perputaran kekiri. Perputaran Jenazah kekiri itu simbolisasi dari perjalanan menurun menuju bhuh loka atau alam bumi ini. Itulah sebabnya maka mekutang disebut dengan “Melebhu” baca melebu yang artinya menuju alam bumi ini. Dan Makna tiga kali ini adala suatu simbolisasi, dari pada mulainya perjalanan, tengah perjalanan, dan telah sampai ditempat tujuan.

8. Meletakan dipetulangan.
Ini bermakna bahwa sang Atma akan berjalan menghadap Hyang Widhi. Maka dari itu bentuk bentuk petulangan itu mempunyai suatu makna yang sangat dalam.

9. Membakar Jenazah atau pengawak sawa.
Ini mengandung arti symbolis, bahwa manusia diciptakan oleh Dewa Brahma ( Tri Murti ) dan setelah mati kembali lagi ke Dewa Brahma, atau menuju Brahma Loka.
Disamping itu juga mempunyai arti untuk mempercepat process penyatuan kembali ke unsur unsur Panca Maha Bhuta buana alit dengan unsur unsur Buwana agung.

10. Ngereka.
Mengandung makna mewujudkan kembali orang yang diabenkan itu dalam wujud yang lebih halus.

11. Sekah Tunggal.
Ini adalah pengawak atau perwujudan sarira orang yang diabenkan dalam wujud yang lebih halus. Apabila sekah tunggal itu berisi abu tulang sang pejah maka sekah ini disebut sekah asti.

12. Ngirim.
Ini adalah suatu symbolisasi melepas sang Atma menuju Bhwah loka / sering disebut dengan Nyalanang sang Atma.

13. Nganyut.
Menghanyutkan pengawak atau tawulan, sehingga menjadi lenyap – Sang Atma menuju Wisnu Loka ( menghanyutkan – ke Air ), terkadang ada suatu pengharapan semoga yang dihanyutkan itu kelak dilaut akan bertemu dengan partikelnya sungai Gangga, yang bermuara di laut.

14. Mekalamigi.
Berarti menyapsap atau membersihkan sebel kandel keluarganya. Dan membersihkan rumahnya dari sebelan.

15. Pemuput karya.
Menghaturkan rasa terimakasih serta permaklumkan bahwa Upacara Ngaben telah selesai dilakukan.

16. Ngarorasin.
Mengandung makna bahwa batas waktu sasebelan perumahan sudah selesai, dalam hal ini sering ngerorasin ini dikonotasikan dengan 12 hari setelah palebon. Maksudnya bukan demikian, karena Upakaranya yang disebut dengan Ngerorasin, karena ngerorasin ini bisa dilaksanakan segera setelah Pelebuan selesai ( catur Dresta ).

ISTILAH DALAM LOKAPALA SRAYA.

a) Ngastawa, adalah melakukan stuti dan stawa kehadapan Hyang Widi Wasa, dalam konteks kontek tertentu dalam upakara Ngaben.

b) Ngaskara adalah melakukan penyucian roch orang yang diabenkan, untuk bisa menjadi Pitara. Sebelum askara dilakukan maka rochnya disebut petara / Petala/I atau atma petara karena masih kotor, sering disebut dengan “Bhuta Cuil”

c) Narpana. Memberikan pabuktian atau bekal, di alam loka berupa hidangan, pakaian dan lain lain.

d) Mralina. Melebur atau memisahkan purusa dan prakerti orang yang diabenkan untuk dikembalikan ke sumbernya masing masing.
Purusa dikembalikan ke Maha Purusa, dan Prakerti dikembalikan ke Panca Maha Bhuta Agung. Atau dengan lain perkataan bahwa mralina melepas sang Atma.

e) Tirta – Tirta.
Tirta Penyudamala.
Pebersihan pengelukatan
Tirta Hyang Kemulan Kemimitan / Kawitan
Tirta Kahyangan Tiga
Tirta Prajapati
Pengentas
Penembak

Akan dijelaskan Pada “PITRA YADNYA” IV

Pitra Yadnya

PITRA – YADNYA – Bagian II

Pada bagian Pitra Yadnya yang ke I telah kita lewati : yaitu berkaitan dengan “Wahya” Beryadnya kepada orang tua yang masih hidup, kiranya hal ini tidak perlu diulas lebih panjang lagi karena kebanyakan yang kita terapkan adalah ilmu katon, sehingga kita bisa dengan gampang mengitrospeksi diri kita masing masing karena umumnya kita jalani hidup ini dengan cara yang realistik.

Selanjutnya mari kita bicarakan Pitra Yadnya dari segi “Adhyatmika”.
Yang tujuannya tiada lain adalah :
1. Menyucikan arwah leluhur atau Orang tua, fase pertama sehingga arwahnya bisa mencapai Bhuah loka yaitu alam Pitara. Di dalam Ngaben terdiri dari pemisahan Purusa dan prakerti Jiwatman dgn stula sarira atau badan wadag.
Jiwatman yang berasal dari Hyang Widhi dikembalikan Kembali ke Hyang Widi, dan stula sarira dikembalikan lagi ke Panca Maha Buta-agung atau alam semesta atau ini melalui proses Pralina. ( ini adalah tujuan ngaben yang pertama ).

2. Tujuan Ngaben yang kedua
Adalah untuk membayar hutang kepada orangtua / leluhur ( lihat Pitra Yadnya bagian yang I). Lihat Tri Renam.
Hutang jasa yang dimaksudkan dalam Pitre Rnam adalah : Orangtua yang mereka-reka kita sehingga kita lahir, maka itulah orangtua disebutkan dengan nama Guru Rupaka ( lihat catur guru). Orangtua adalah merupakan Dewa skala, yang menggadakan si anak, karena dengan adanya pertemuan Sukla – swanita itulah atma akan menjiwai manusia.
Inilah landasan kita berbakti setulus tulusnya terhadap Orangtua / leluhur.
Orangtua mempunyai hubungan timbal balik, yang diwjudkan dalam upacara Ngaben.
Dalam Upacara Ngaben terkandung dualisme, yaitu orangtua yang mengadakan anaknya melalui process ciptaan dan setelah orang tua meninggal, anaknya yang mengembalikan orangtuanya ke asal yang disebut dengan “Mulihing Sangkan Paran”
Demikianlah prinsip dalam ajaran Putra sesana.

Nah untuk menghilangkan kerancuan dari pada pengertian Pitra Yadnya dalam katagori Adhyatmika, selanjutnya mari kita bahas apasaja agenda yang tercakup dalam Adhyatmika ini diantaranya adalah :

1. Atiwa – tiwa
2. Ngaben
3. Mamukur
4. Ngalinghgihan Dewa Pitara.

Namun tidaklah salah, terkadang orang membicarakan Ngaben, yang dimaksud adalah kesemua rangkaian dari Upacara Adhyatmika diatas tsb, supaya tidak menimbulkan pengertian yang bias mari kita perhatikan arti & makna dari tahapan upakara tersebut diatas.

1. Atiwa – Tiwa.
Tiwa-tiwa adalah Upacara & tatacara merawat Jenazah seperti : Memandikan, memberi ramuan ramuan, mendandani, menggulung dan sebagainya yang sering kita dengar dengan acara meringkes sampai Jenazah dikuburkan ( mekingsan baik dipertiwi, maupun di geni ) sebelum dilakukan upacara ngaben.
Apabila saat itu juga dilanjutkan dengan upacara ngaben, atiwa-tiwanya sampai dengan Jenazah diletakan di balai. ( baca lontar pretekaning wong pejah )
Upacara penguburan Jenazah, adalah upacara yang sudah berjalan dari jaman pra sejarah Indonesia yang disebutkan dengan asal kata Tiwah. Konon sebutan ini masih dipergunakan oleh rekan kita yang berada di Tanah Toraja & Kalimantan Pedalaman.

2. Ngaben.
Mengenai difinisi Ngaben, sudah sering sekali titiang postingkan dalam Posting posting yang sudah lewat, baik dalam arti kata, maupun maksud dan tujuannya ( lihat posting yang sudah lewat mengenai Ngaben.
Nah Untuk Ngaben ini, akan saya jelaskan tersendiri dalam Pitra Yadnya ke IV.

3. Mamukur.
Berasal dari kata Bukur, kata bukur adalah akronim dari kata Bu (bhu) = alam sedangkan ur merupakan perpendekan dari Urdah=atas. Jadi kata bhukur berarti menuju alam atas atau swah loka.
Upacara memukur adalah merupakan penyucian Roch dalam fase ke dua., untuk mendapatkan atau mencapai swah loka, dan Upacara ini juga disebut Upacara “MALIGYA”.

4. Ngelinggihan Dewapitara.
Mgeliggihan Dewa Pitara, rangkaian upacara atmapratista, yaitu ngelinggihan roch suci yang disebut Dewapitara, yang sering disebut dengan pelinggih Kemulan kemimitan didalam Sanggah gede, merajan, Tempatnya sebelah Kanan tersendiri, ciri khasnya adalah rong tiga,
Ciri khas pelinggih : Gedong, rong, ( beratap ) adalah merupakan Stana dari pada mereka yang pernah terlahirkan. Sedangkan Padmasana ( yang tak beratap ) Stana dari Hyang Maha tunggal yang tak pernah terlahirkan.

Terkadang disuatu tempat, ada sampai sanggah / merajan kemulannya sampai berentet rentet, karena filosofinya setiap mereka yang meninggal, dibuatkan rong tiga yang baru, sehingga merajannya sampai sambung menyambung menjadi satu itulah Indonesia…..?
Terkecuali karena Populasi pamekaran maka dibuatlah merajan yang baru dimana ditempatnya yang baru tersebut jauh dari tempat sanggah gedenya.
Upacara ini / ngelinggihan ini lah disebut dengan Upacara “Nilapati”.
(menurut Loca Dresta ditempat kami Tabanan ) disini akan ada istilah seperti berikut :
Petala = Roch para leluhur yang belum menjalani fase Ngelinggihan Dewapitara.
Pitara, terkadang Betara = sebutan para roch leluhur yang sudah melaksakan fase ini.

Demikianlah tingkatan Upacara dalam Adhyatmika ini, selanjutnya sebelum membahas Ngaben itu sendiri ikutilah dulu lambang / istilah / symbolisasi dan makna dalam upacara
PITRA YADNYA KE III