Jumat, 09 Oktober 2009

Meditasi Dasaksara

Om Swastyastu

MENGENAL MEDITASI DASA AKSARA

Meditasi ini sesungguhnya sudah dikenal sejak lama, dan sudah berkembang sejak jamannya Panca Pandita, Beliau adalah:
1. Mpu Gnijaya.
2. Mpu Ghana.
3. Mpu Semeru.
4. Mpu Kuturan.
5. Mpu Baradah.
Adapun konsep meditasi ini mengajak kita untuk lebih memahami diri kita, dengan melakukan pengkajian kedalam diri bukan keluar, dari mulai membedakan mana tubuh dan mana roh, sampai merubah sifat tubuh menjadi sifat roh.
Diharapkan ketika seseorang sudah berada pada tingkat mahir menerapkan meditasi ini, maka mereka akan merasakan tubuhnya yang diikat oleh sang roh, bukan sang roh yang diikat oleh sang tubuh. Karena Sang Panca Pandita yang digunakan sebagai guru spiritual meditasi ini, maka pada meditasi ini menekankan konsep Tri murti sebagai dasar keyakinannya, dan mewajibkan bagi mereka yang ingin mencoba menerapkan dan memperdalam meditasi 10 (dasa) aksara ini diwajibkan tangkil ( datang ) kecatur Kayangan untuk mohon restu kepada beliau.
Catur Kayangan yang dimaksud adalah:
· Pura Lempuyang, memohon restu kepada Mpu Gnijaya.
· Pura Besakih, memohon restu kepada Mpu Smeru.
· Pura Dasar Buana di Gelgel, memohon kepada Mpu Ghana.
· Pura Silayukti, Memohon restu kepada Mpu Kuturan.
Ajaran Tri murti dan meditasi 10 (dasa) aksara saling melengkapi, dimana mengajarkan kita memahami Tuhan dengan amat sederhana, dan menyederhanakan pikiran karena pikiranlah sumber dari segala keinginan, yang membawa kita pada penderitaan, bahkan kita semakin jauh dari tujuan hidup yaitu Moksa ( Pembebasan dari ketrikatan) dan tak jarang kita menjadi tidak percaya dengan Moksa (pembebasan) tersebut.
Trimurti dan Meditasi 10 (dasa) Aksara memberikan gambaran bahwa Hindu yang berkembang di Bali menjadi berbeda dengan yang ada di mana-mana, bahkan dengan yang ada di India, karena leluhur pendahulunya menggunakan aksara Dewa Nagari hasil perpaduan antara huruf Palwa dan sansekerta, akhirnya dari hasil persilangan tersebut melahirkan huruf baru menjadi: A, Na, Ca, Ra, Ka, Da, Ta, Sa, Wa, La,Ma, Ga, Ba, Tha, Nga, Pa, Dha, Ja, Ya, Nya.
Oleh Leluhur dijelaskan, bahwa dengan memahami huruf-huruf Dewa Nagari itu sesungguhnya kita bisa mengenal sekaligus memahami Tuhan dan ciptaanya.
Karena aksara tersebut diatas, sesungguhnya simbul-simbul dari bentuk alam yang diciptakan Tuhan, sekaligus ada di dalam tubuh Manusia. Dan untuk memahami sifat alam dan penciptannya leluhur memadukan akasara Dewa Nagari tersebut menjadi 10 (dasa) aksara yakni: Sang, Bang, Tang, Ang, IngNang, Mang, Sing, Wang, Yang.
Aksara-aksara inilah yang nantinya digunakan dalam meditasi, karena aksara-aksara ini sesungguhnya sudah menjadi sifat roh yang utama (Tuhan), dan agar kita bisa merasakan sifat rohani Tuhan, maka kita letakan simbul-simbul aksara tadi kedalam organ tubuh kita, dengan melakukan metode meditasi 10 aksara.
Ada 5 (lima) tahapan dalam melakukan meditasi 10 (dasa) aksara:
1. Menjadikan tubuh sama dengan alam, dengan cara mengosongkan segala keinginan, biarkan tubuh bekerja sesuai proses hukum sebab akibat, misal makan saat lapar, berhenti makan sebelum kenyang.
2. Bersihkan hati, karena di sana ada Tuhan yang disimbulkan dengan Ongkara Ngadeg, caranya dengan membersihkan hati dari segala iri dan dengki, emosi, serakah, dan kebodohan.
3. Bersihkan pikiran karena disana ada kekuatan Tuhan yang disimbulkan dengan Ongkara Sunsang, caranya lakukan sangkirtanam ( menyebut nama Tuhan), hingga pikiran hanya terisi nama dan sifat Tuhan.
4. Meditasi 10 (dasa) aksara.
5. Melakukan perenungan kedalam untuk mendapat pencerahan.
Dengan menerapkan Trimurti dan meditasi 10 (dasa) aksara, membuktikan bahwa Hindu di Bali sesungguhnya amat sederhana dan amat fleksibel dan tidak ada sedikit pun menyimpang dari Weda. Dan menurut sistem (metode ini) justru moksa dalam Tri murti (pembebasan) akan dicapai, apa bila terbebas dari segala perbedaan yang ada di dunia tanpa menyamakannya.

Satyam Evam Jayathe,
Om Shanti Shanti Shanti Om ….

Sumber: disunting dari Buku Meditasi Adhyatmika

Makna Hari Raya Galungan

ओम् स्वस्त्यस्तु
Om Svastyastu

MAKNA HARI RAYA GALUNGAN DAN KUNINGAN
Oleh Bp. Mangku Shri Danu

1. Pendahuluan.
Perayaan Galungan bagi umat Hindudi Bali sudah sangat memasyarakat dari abad keabad. Tetapi sangat kita sayangkan memasyarakatnya Galungan tersebut sangat tidak seimbang antara Tattwa atau kasuksman Galungan,Susila dengan Upakaranya.
Artinya antara Tattwa yang tercamtum dalam teks pustaka Sundaraigama dengan wujud susila dan upakara Galungan dalam kehidupan empirisnya sampai saat ini masih tidak nyambung. Bahkan kadang-kadang bertentangan.antara Tattwa Galungan yang demikian luhur dan idial dinyatkan dalam teks Pustakanya dengan kenyataan perayaan Galungan dalamkehidupan empiris setiap dalam kehidupan empiris setiap perayaan Galungan yang dirayakan setiap enam bulan wuku (210 hari).
Ada kalanya disuatu waktu dan tempat perayaan Galungan lebih menonjolkan perayaan Galungan dengan pesta-pesta pora yang bersifat hedonis. Makan masakan khas daerah yang lebih nikmat dari sehari-harinya.Demikian pula Galungan diwujudkan dengan berpakaian serba baru,pergi ketempat-tempat hiburan dan melakukan hal-hal yang lebih menekankan keikmatan indria. Pada hal Galungan adalah sebagai suatu peringatan untuk menajamkan daya spiritual untuk mensinergikan penerapan Jnyana atau ilmu pengetahuan suci untuk mencerahkan hati nurani umat sehingga dapat membangun kehidupan yang cerah dan bergaiarah untuk mengamalkan Dharma. Galungan bukan sebagai media untuk lebih mendinamisir dominasi indria dalam diri. Sesungguhnya untuk mengimplementasikan Tattwa Galungan banyak hal yang dapat kita perbuat dengan mengembangkan Tattwa Galungan kedalam berbagai program nyata sehingga Tattwa Galungan menjadi nyata dalam wujud susila dan upakara nya Inilah tujuan utama penulisan tentang Galungan dan Kuningan dalam tulisan singkat ini.
2. Pengartian Umum.
Kata “Galungan” berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis.
Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini. Kapan sebenarnya Galungan dirayakan pertamakali di Indonesia, terutama di Jawa dan di daerah lain khususnya di Bali. Drs. I Gusti Agung Gede Putra (mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI) memperkirakan, Galungan telah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya itu popular dirayakan di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kidung Panji Amalat Rasmi. Tetapi, kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti.
Namun di Bali, ada sumber yang memberikan titik terang. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam lontar itu disebutkan:
“Punang act Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15,
isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya”,
Artinya:
Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.
Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba entah apa dasar pertimbangannya pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu terjadi ketika Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek.
Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu. Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilahDewa Sraya artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Karena kesungguhannya melakukan tapa brata. Raja Sri Jayakasunu mendapatkanpawisik atau“bisikan religius” dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendekkarena tidak lagi merayakan Galungan. Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan). Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.
3. Makna Filosofis Galungan
Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia.
Selain itu juga memberi kemampuan untuk membeda-bedakan kecendrungan karaksasaan (asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad). Harus disadari bahwa hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk menguasai kecenderungan keraksasaan.
Galungan adalah juga salah satu upacara agama Hindu untuk mengingatkan manusia secara ritual dan spiritual agar selalu memenangkan Dewi Sampad untuk menegakkan dharma melawan adharma. Dalam lontar Sunarigama, Galungan dan rincian upacaranya dijelaskan dengan mendetail. Mengenai makna Galungan dalam lontar Sunarigamadijelaskan sebagai berikut:
Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning Idep Artinya:
Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan bersatunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran.
Jadi, inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujuddharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma. Dari konsepsi lontar Sunarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat Galungan adalah merayakan menangnya dharma melawan adharma.
Untuk memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum dan setelah Galungan. Sebelum Galungan ada disebut Sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Kata Jawa di sini sama dengan Jaba, artinya luar. Sugihan Jawa bermakna menyucikan bhuana agung (bumi ini) di luar dari manusia.
Sugihan Jawa dirayakan pada hari Wrhaspati Wage Wuku Sungsang, enam hari sebelum Galungan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Sugihan Jawa itu merupakan Pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh (Penyucian Dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara).
Pelaksanaan upacara ini adalah dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci. Sedangkan pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang disebutkan: Kalinggania amretista raga tawulan (Olehkarenanya menyucikan badan jasmani masing-masing).
Karena itu Sugihan Bali disebutkan menyucikan diri sendiri. Kata Bali dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada di dalam diri. Dan itulah yang disucikan.
Pada Redite Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa turun mengganggu manusia. Karena itulah pada hari tersebut dianjurkan anyekung Jñana,
artinya: mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha Galungan. Dalam lontar itu juga disebutkan nirmalakena (orang yang pikirannya selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan.
Pada hari Senin Pon Dungulan disebut Penyajaan Galungan. Pada hari ini orang yang paham tentang yoga dan samadhi melakukan pemujaan. Dalam lontar disebutkan, “Pangastawaningsang ngamongyoga samadhi.”
Pada hari Anggara Wage wuku Dungulan disebutkan Penampahan Galungan. Pada hari inilah dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Butha Galungan dengan upacara pokok yaitu membuat banten byakala yang disebut pamyakala lara melaradan. Umat kebanyakan pada hari ini menyembelih babi sebagai binatang korban. Namun makna sesungguhnya adalah pada hari ini hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri.
Demikian urutan upacara yang mendahului Galungan. Setelah hari raya Galungan yaitu hari Kamis Umanis wuku Dungulan disebut Manis Galungan. Pada hari ini umat mengenang betapa indahnya kemenangan dharma. Umat pada umumnya melampiaskan kegembiraan dengan mengunjungi tempat-tempat hiburan terutama panorama yang indah. Juga mengunjungi sanak saudara sambil bergembira-ria.
Hari berikutnya adalah hari Sabtu Pon Dungulan yang disebut hari Pemaridan Guru. Pada hari ini, dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugrah berupa kadirghayusaan yaituhidup sehat panjang umur. Pada hari ini umat dianjurkan menghaturkan canang meraka dan matirta gocara. Upacara tersebut barmakna, umat menikmati waranugraha Dewata,
Pada hari Jumat Wage Kuningan disebut hari Penampahan Kuningan. Dalam lontarSundarigama tidak disebutkan upacara yang mesti dilangsungkan. Hanya dianjurkan melakukan kegiatan rohani yang dalam lontar disebutkanSapuhakena malaning jnyana (lenyapkanlah kekotoran pikiran). Keesokan harinya, Sabtu Kliwon disebut Kuningan. Dalam lontar Sunarigama disebutkan, upacara menghaturkan sesaji pada hari ini hendaknya dilaksanakan pada pagi hari dan hindari menghaturkan upacara lewat tengah hari. Mengapa? Karena pada tengah hari para Dewata dan Dewa Pitara “diceritakan” kembali ke Swarga (Dewa mur mwah maringSwarga).
Demikianlah makna Galungan dan Kuningan ditinjau dari sudut pelaksanaan upacaranya.
4. Macam-macam Galungan
Meskipun Galungan itu disebut “Rerahinan Gumi” artinya semua umat wajib melaksanakan, ada pula perbedaan dalam hal perayaannya. Berdasarkan sumber-sumber kepustakaan lontar dan tradisi yang telah berjalan dari abad ke abad telah dikenal adanya tiga jenis Galungan yaitu: Galungan (tanpa ada embel-embel), Galungan Nadi dan Galungan Nara Mangsa. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
a. Galungan
Adalah hari raya yang wajib dilakukan oleh umat Hindu untuk merayakan kemenangan dharma melawan adharma. Berdasarkan keterangan lontar Sundarigama disebutkan “Buda Kliwon Dungulan ngaran Galungan.” Artinya, Galungan itu dirayakan setiap Rabu Kliwon wuku Dungulan. Jadi Galungan itu dirayakan, setiap 210 hari karena yang dipakai dasar menghitung Galungan adalah Panca Wara, Sapta Wara dan Wuku. Kalau Panca Waranya Kliwon, Sapta Waranya Rabu, dan wukunya Dungulan, saat bertemunya ketiga hal itu disebut Hari Raya Galungan.
b. Galungan Nadi
Galungan yang pertama dirayakan oleh umat Hindu di Bali berdasarkan lontar Purana Bali Dwipa adalah Galungan Nadi yaitu Galungan yang jatuh pada sasih Kapat (Kartika) tanggal 15 (purnama) tahun 804 Saka (882 Masehi) atau pada bulan Oktober.
Disebutkan dalam lontar itu, bahwa pulau Bali saat dirayakan Galungan pertama itu bagaikan Indra Loka. Ini menandakan betapa meriahnya perayaan Galungan pada waktu itu. Perbedaannya dengan Galungan biasa adalah dari segi besarnya upacara dan kemeriahannya. Memang merupakan suatu tradisi di kalangan umat Hindu bahwa kalau upacara agama yang digelar bertepatan dengan bulan purnama maka mereka akan melakukan upacara lebih semarak. Misalnya upacara ngotoninatau upacara hari kelahiran berdasarkan wuku, kalau bertepatan dengan purnama mereka melakukan dengan upacara yang lebih utama dan lebih meriah.
Disamping karena ada keyakinan bahwa hari Purnama itu adalah hari yang diberkahi oleh Sanghyang Ketu yaitu Dewa kecemerlangan. Ketu artinya terang (lawan katanya adalah Rau yang artinya gelap). Karena itu Galungan, yang bertepatan dengan bulan purnama disebut Galungan Nadi. Galungan Nadi ini datangnya amat jarang yaitu kurang lebih setiap 10 tahun sekali.
c. Galungan Nara Mangsa
Galungan Nara Mangsa jatuh bertepatan dengan tilem sasih Kapitu atau sasih Kesanga. Dalam lontar Sundarigama disebutkan sebagai berikut:
"Yan Galungannuju sasih Kapitu, Tilem Galungan, mwang sasih kesanga, rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa ngaran. “
Artinya:
Bila Wuku Dungulan bertepatan dengan sasih Kapitu, Tilem Galungarniya dan bila bertepatan dengan sasih Kesanga rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa namanya.
Dalam lontar Sanghyang Aji Swamandala ada menyebutkan hal yang hampir sama sebagai berikut:
“Nihan Bhatara ring Dalem pamalan dina ring wong Bali, poma haywa lali elingakna. Yan tekaning sasih Kapitu, anemu wuku Dungulan mwang tilem ring Galungan ika, tan wenang ngegalung wong Baline, Kala Rau ngaranya yon mengkana. Tan kawasa mabanten tumpeng. Mwah yan anemu sasih Kesanga, rah 9 tenggek 9, tunggal kalawan sasih Kapitu, sigug ya mengaba gering ngaran. Wenang mecaru wong Baline pabanten caru ika, nasi cacahan maoran keladi, yan tan anuhut ring Bhatara ring Dalem yanya manurung, moga ta sira kapereg denira Balagadabah”.
Artinya:
Inilah petunjuk Bhatara di Pura Dalem (tentang) kotornya hari (liari buruk) bagi manusia, semoga tidak lupa, ingatlah. Bila tiba sasih Kapitu bertepatan dengan wuku Dungulan dan Tilem, pada hari Galungan itu, tidak boleh merayakan Galungan, Kala Rau namanya, bi]a demikian tidak dibenarkan menghaturkan sesajen yang berjsi tumpeng. Dan bila bertepatan dengan sasih Kasanga rah 9, tenggek 9 sama artinya dengan sasih kapitu. Tidak baik itu, membawa penyakit adanya. Seyogyanya orang mengadakan upacara caru yaitu sesajen caru, itu nasi cacahan dicampur ubi keladi. Bila tidak mengikuti petunjuk Bhatara di Pura Dalam (maksudnya bila melanggar) kalian akan diserbu oleh Balagadabah.
Demikianlah dua sumber pustaka lontar yang berbahasa Jawa Kuna menjelaskan tentang Galungan Nara Mangsa. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Galungan Nara Mangsa disebutkan “Dewa Mauneb bhuta turun” yang artinya, Dewa tertutup (tapi) Bhutakala yang hadir. Ini berarti Galungan Nara Mangsa itu adalah Galungan raksasa, pemakan daging manusia. Oleh karena itu pada hari Galungan Nara Mangsa tidak dilang-sungkan upacara Galungan sebagaimana mestinya terutama tidak menghaturkan sesajen “tumpeng Galungan”. PadaGalungan Nara Mangsa justru umat dianjurkan menghaturkan caru, berupa nasi cacahan bercampur keladi.
Demikian pengertian Galungan Nara Mangsa. Palaksanaan upacara Galungan di Bali biasanya diiiustrasikan dengan cerita Mayadanawa yang diuraikan panjang lebar dalam lontar Usana Bali sebagai lambang, pertarungan antara aharma melawan adharma.
Dharma dilambangkan sebagai Dewa Indra sedangkan adharma dilambangkan oleh Mayadanawa. Mayadanawa diceritakan sebagai raja yang tidak percaya pada adanya Tuhan dan tidak percaya pada keutamaan upacara agama.
4. Galungan di India
Hari raya Hindu untuk mengingatkan umat atas pertarunganantara adharma melawan dharma dilaksanakan juga oleh umat Hindu di India. Bahkan kemungkinan besar, parayaan hari raya Galungan di Indonesia mendapat inspirasi atau direkonstruksi dari perayaan upacara Wijaya Dasami di India. Ini bisa dilihat dari kata “Wijaya” (bahasa Sansekerta) yang bersinonim dengan kata “Galungan” dalam bahasa Jawa Kuna. Kedua kata itu artinya “menang”.
Hari Raya Wijaya Dasami di India disebut pula “Hari Raya Dasara”. Inti perayaan Wijaya Dasami juga dilakukan sepuluh hari seperti Galungan dan Kuningan.
Sebelum puncak perayaan, selama sembilan malam umat Hindu di sana melakukan upacara yang disebut Nawa Ratri (artinya sembilan malam). Upacara Nawa Ratri itu dilakukan dengan upacara persembahyangan yang sangat khusuk dipimpin oleh pendeta di rumah-rumah penduduk. Nawa Ratri lebih menekankan nilai-nilai spiritual sebagai dasar perjuangan melawan adharma. Nawa Ratri itu dilakukan dengan mumuja Dewi Durgha selama tiga hari. Tiga hari berikutnya memuja Dewi Saraswati dan tiga hari terakhir memuja Dewi Laksmi. Tiga hari memuja Dewi Durgha bertujuan untuk membangun niat baik dalam hati nurani.Membangun niat baik inilah pekerjaan yang paling sulit. Tiga hari memuja Dewi Saraswati artinya untuk meningkatkan kemampuan kita menguasai ilmu pengetahuan. Niat baik saja tidak cukup.Niat baik itu hartus disertai dengan kemampuan untuk menguasai ilmu pengetahuan untuk menuntun hidup manusia. Tiga hari terakhir memuja Dewi Laksmi.Ini artinya puncak dari perjuangan membangun niat baik dan menguasai ilmu pengetahuan adalah hidup sejahtra lahir batin. Niat baik dan ilmu pengetahuan itu tidak ada apa-apanya kalau tidak menghasilkan hidup sejahtra lahir batin. Pemujaan pada dewi Laksmi ini bertujuan agar niat baik dan ilmu pengetahuan itu benar-benar diarahkan untuk mewujudkan hidup sejahtra Sekala dan Niskala. Untuk membangun hidup sejahtra itu tidak mudah,karena itu hartus dilakukan upaya spiritual dengan memuja Tuhan sebagai Dewi Laksmi pada tiga hari terakhir dari Nawa Ratri tersebut..
Pada hari kesepuluh berulah dirayakan Wijaya Dasami atau Dasara. Wijaya Dasami lebih menekankan pada rasa kebersamaan, kemeriahan dan kesemarakan untuk masyarakat luas.
Perayaan Wijaya Dasami dirayakan dua kali setahun dengan perhitungan tahun Surya. Perayaan dilakukan pada bulan Kartika (Oktober) dan bulan Waisaka (April).Perayaan Dasara pada bulan Waisaka atau April disebut pula Durgha Nawa Ratri.
Durgha Nawa Ratri ini merupakan perayaan untuk kemenangan dharma melawan adharma dengan ilustrasi cerita kemenangan Dewi Parwati (Dewi Durgha) mengalahkan raksasa Durgha yang bersembunyi di dalam tubuh Mahasura yaitu lembu raksasa yang amat sakti. Karena Dewi Parwati menang, maka diberi julukan Dewi Durgha. Dewi Durgha di India dilukiskan seorang dewi yang amat cantik menunggang singa. Selain itu diyakini sebagai dewi kasih sayang dan amat sakti.
Pengertian sakti di India adalah kuat, memiliki kemampuan yang tinggi. Kasih sayang sesungguhnya kasaktian yang paling tinggi nilainya. Berbeda dengan di Bali. Kata sakti sering diartikan sebagai kekuatan yang berkonotasi angker, seram, sangat menakutkan.
Parayaan Durgha Nawa Ratri adalah perjuangan umat untuk meraih kasih sayang Tuhan. Karunia berupa kasih sayang Tuhan adalah karunia yang paling tinggi nilainya. Untuk melawan adharma pertama-tama capailah karunia Tuhan berupa kasih sayang Tuhan. Kasih sayang Tuhanlah merupakan senjata yang paling ampuh melawan adharma.
Sedangkan upacara Wijaya Dasami pada bulan Kartika (Oktober) disebut Rama Nawa Ratri. Pada Rama Nawa Ratri pemujaan ditujukan pada Sri Rama sebagai Awatara Wisnu. Selama sembilan malam umat mengadakan kegiatan keagamaan yang lebih menekankan pada bobot spiritual untuk mendapatkan kemenangan rohani dan menguasai, keganasan hawa nafsu. Pada hari kesepuluh atau hari Dasara, umat merayakan Wijaya Dasami atau kemenangan hari kesepuluh. Pada hari ini, kota menjadi ramai. Di mana-mana, orang menjual panah sebagai lambang kenenangan.
Umumnya umat membuat ogoh-ogoh berbentuk Rahwana, Kumbakarna atau Surphanaka. Ogoh-ogoh besar dan tinggi itu diarak keliling beramai-ramai. Di lapangan umum sudah disiapkan pementasan di mana sudah ada orang yang terpilih untuk memperagakan tokoh Rama, Sita, Laksmana dan Hanuman.
Puncak dari atraksi perjuangan dharma itu yakni Sri Rama melepaskan anak panah di atas panggung yang telah dipersiapkan sebelumnya. Panah itu diatur sedemikian rupa sehingga begitu ogoh-ogoh Rahwana kena panah Sri Rama, ogoh-ogoh itu langsung terbakar dan masyarakat penontonpun bersorak-sorai gembira-ria. Orang yang memperagakan diri sebagai Sri Rama, Dewi Sita, Laksmana dan Hanuman mendapat penghormatan luar biasa dari masyarakat Hindu yang menghadiri atraksi keagamaan itu. Anak-anak ramai-ramai dibelikan panah-panahan untuk kebanggaan mereka mengalahkan adharma.
Kalau kita simak makna hari raya Wijaya Dasami yang digelar dua kali setahun yaitu pada bulan April (Waisaka) dan pada bulan Oktober (Kartika) adalah dua perayaan yang bermakna untuk mendapatkan kasih sayang Tuhan. Kasih sayang itulah suatu “sakti” atau kekuatan manusia yang maha dahsyat untukmengalahkan adharma. Sedangkan pada bulan Oktober atau Kartika pemujaan ditujukan pada Sri Rama. Sri Rama adalah Awatara Wisnu sebagai dewa Pengayoman atau pelindung dharma. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan fllosofi dari hari raya Wijaya Dasami adalah mendapatkan kasih sayang dan perlindungan Tuhan. Kasih sayang dan perlindungan itulah merupakan kekuatan yang harus dicapai oleh menusia untuk memenangkan dharma. Kemenangan dharma adalah terjaminnya kehidupan yang bahagia lahir batin.
Kemenangan lahir batin atau dharma menundukkan adharma adalah suatu kebutuhan hidup sehari-hari. Kalau kebutuhan rohani seperti itu dapat kita wujudkan setiap saat maka hidup yang seperti itulah hidup yang didambakan oleh setiap orang. Agar orang tidak sampai lupa maka setiap Budha Kliwon Dungulan, umat diingatkan melalui hari raya Galungan yang berdemensi ritual dan spiritual.

ओम् शन्ति शन्ति शन्ति ओम्
Om śanti śanti śanti Om

Doa Bersama Peletakan Batu Pertama Pembangunan Pagar 10-10-2009 & Bakti Sosial 11-10-2009

Om Swastiastu,

Yth, Bapak dan Ibu
Umat Sedharma
Banjar Swadharma Krama Serpong,
Sesuai dengan hasil rapat panitia kecil Hari Sabtu, tanggal 26 September 2009 yang lalu, telah disepakati dan direncanakan acara doa bersama untuk peletakan batu pertama dimulainya pembangunan tembok penyengker pembatas area fasos-fasum Pure BSD/Tangsel, yang akan dilaksanakan pada hari Sabtu, tanggal 10 Oktober 2009 jam 10 pagi di lokasi Pure BSD.
Panitia mengundang Bapak dan Ibu untuk sama-sama mendoakan dan menyaksikan acara tersebut sebagai langkah awal dimulainya proyek pembangunan Pure BSD. Penyengker tersebut perlu dibangun lebih awal untuk membatasi akses masuk pihak luar ke area pure untuk mengamankan material (bahan-bahan yang akan digunakan dalam pembangunan). Acara berikutnya adalah Bakti Sosial Pengobatan Gratis untuk warga sekitar yang kurang mampu, pada hari Minggu, tanggal 11 Oktober 2009, mulai jam 9 pagi bertempat di Kantor Kelurahan Rawa Mekar Jaya.
Acara ini dibantu oleh para Dokter dan tenaga kesehatan Umat Hindu Jabodetabek yang dikordinasikan oleh Pak Agung Diatmika (Ketua PHDI Kabupaten Tangerang). Panitia juga mengharapkan bantuan dari bapak dan Ibu sekalian untuk terselenggaranya acara tersebut. Demikian kami informasikan, terima kasih atas ketersediaan Bapak dan Ibu sekalian. Om Santi Santi Santi Om, Wayan Suryana

Rabu, 22 Juli 2009

Pitra Yadnya

PITRA – YADNYA – Bagian IV

Pada bagian Pitra Yadnya yang ke I telah kita lewati : yaitu berkaitan dengan “Wahya”
Sedangkan untuk Pitrayadnya yang ke II sudah kita tinjau dari sisi “Ahdyatmikanya”.
Pitra-Yadnya yang ke III. Berkaitan dengan makna dan Symbolisasi.

Jadi untuk Pitra-Yadnya yang ke IV kita akan bahas khusus memandikan Jenazah.

PELAKSANAAN MEMANDIKAN JENAZAH.
1. Jenazah dibawa ketempat memandikan ( pepagan, dipan, Meja, atau dirumah sakit )
- Pakaiannya dibuka, mukanya ditutup dengan angkeb rai, dan kemaluannya ditutup dengan tutup baga.
- Pelaksanaan pemandian dilaksanakan oleh rohaniawan
- Pertama tama tutup muka dibuka, mulai dengan sisig dari beras yang dibakar, dilanjutkan kramas dengan santan kelapa.
- Siram dengan air bersih disabun sampai bersih, lalu dilap dengan handuk.

Memasang reramuan.
- Kekosok seluruh badan
- Boreh dan pemblonyoh, putih dikepala, kuning di kaki
- Kerik kuku tangan dan kaki
- Disiram dengan air kembang/wangi, lalu digelinding dengan telur ayam mentah dari kepala sampai kekaki.

2. Etik – etik pembersihan.
- Daun intaran : Pada alis / kening
- Gadung / sekapa : Pada dada.
- Pusuh menur : Pada lubang hidung
- Pecahan cermin : Pada mata
- Waja : Pada Gigi
- Daun tuwung : Pada kemaluan laki laki
- Bunga tunjung : Pada kemaluan wanita.
Kesemuanya ini tujuannya adalah untuk kesempurnaan unsur unsur Panca Indriya.

3. Bebek :
Boreh dan anget anget dipasang pada perut, maksudnya untuk menikmati kesucian.
Minyak wangi di rambut kepala.

4. Kwangen :
- Satu buah dipasang di kepala.
- Satu buah dipasang diuluhati
- Satu buah dipasang didada
- Dua buah dipasang di tangan kanan & kiri.
- Dua buah dilutut kanan dan kiri.

5. Mengenakan kain.
- Pertama tama kain, lalu sabuk
- Kedua sesaputan dengan sabuknya.
- Udeng
- Tangan dan kaki meitik itik ( Ibu jari kedua tangan dan ibu jari kedua kaki )
- Rohaniawan maktiang ke Surya, setelah itu metirta
- Ngayab bubur pirata, nasi angkeb dan saji.

6. Mepegat ( Lihat symbol / makna mepegat )
Mepegat dilaksanakan apabila, langsung pelaksanaan penguburan / perabuan.
Bagi keluarganya ngebaktiyang.

7. Ngeringkes Sawa
Setelah meitik –itik lalu digulung / dibungkus dengan kain putih ( kain pengelelet ).
Dipocong, satu diikat dikepala, kedua diikat dibadan, dan ketiga di kaki. Setelah itu Jenazah dimasukan kedalam peti, ditaruh seperti orang tidur dengan bantal kecil di kepala. Didekat kepala ditaruh daksina Pejatian, canang, beras catur warna, segehan diluar peti / teben.

8. Maktiang ke Surya :
Setelah mayat dimasukan kedalam peti, dan ditaruh pada tempat yang telah disediakan, maka petugas rohaniawan menjalankan upacara. Memercikan tirta tirta pebersihan, Pengelukatan, dan tirta tirta dari Kahyangan, selanjutnya para sanak saudaranya menyembah, setelah itu baru kemudian bungkusnya dirapihkan, dan barang barang yang diperlukan ditaruh didalamnya yang diperlukan ntuk bekelnya.
Kemudian tutup petinya dipasang, sebelum berangkat, maka para keluarganya mepegat, masuk kebawah peti Jenazah dari arah kaki kekepala, berputar kekiri sebanyak tiga kali sebagai perpisahan untuk melepas kepergian sang yang meninggal ( mati – nggal )
Selanjutnya berangkat kekuburan.

Selanjutnya…..Menguburkan / Memprabukan. Pitra-Yadnya ke V.
JMS.

Pitra Yadnya

PITRA – YADNYA – Bagian III

Pada bagian Pitra Yadnya yang ke I telah kita lewati : yaitu berkaitan dengan “Wahya”. Sedangkan untuk Pitrayadnya yang ke II sudah kita tinjau dari sisi “Ahdyatmikanya”.
Sebelum kita mulai terjun ke Upakaranya, mari kita lihat dulu makna dan simbolisasi dalam Upakara ini sehingga kita tidak akan bingung dengan adanya istilah istilah yang akan muncul.

1. Memandikan Jenazah :
Upakara memandikan Jenazah dengan peralatan dan tatacaranya disebut dengan Atiwa-tiwa, yang bermakna bahwa orang yang meninggal itu “mepeningan” atau mesucian, karena arwahnya akan meninggalkan Bhuh loka menuju Bhwah loka, yaitu alam pitara atau alam astral.

2. Meletakan Jenazah dibalai.
Ini bermakna, orang yang meninggal itu, kini telah siap untuk menerima pengabenan, yang diperuntukan kepadanya.

3. Ngendag atau ngulapin ke Setra.
Ini melambangkan atau memberitahukan kepada roch, Informasi bahwa orang yang di abenkan itu, diulapin / diajak pulang untuk diabenkan.

4. Mapegat.
Upacara ini mengandung makna menghilangkan mala atau kotoran pada sang Atma, supaya tidak lagi dilekati, oleh kotoran, maupun hal hal yang istimewa semasa hidupnya, sehingga hal ini tidak menyebabkan lantud pemarginya Sang Atma.

5. Melaspas Petulangan.
Ini bermakna membersihkan atau Nyapsap pekerjaan tukang wadah dan tukang petulangan.

6. Melebu Atau mekutang.
Bermakna membuang kotoran yang melekati sang Atma, termasuk pula stula sarira atau jasad manusia. Jasad manusia yang berasal dari unsur unsur Panca Maha Buta, dikembalikan ke asalnya yaitu Panca Maha Buta Agung, yaitu alam semesta ini yang disebut dengan Bhuh Loka.

7. Pemutaran Jenazah.
Jenasah diputar tigakali kekiri pada waktu berangkat dari rumah, pada persimpangan jalan, dan setelah sampai di Setra. Perputaran kekiri adalah simbolisasi turun. Kalau putaran kekanan adalah simbolisasi naik. Itulah sebabnya ada dua arah perputaran dalam upacara agama, yaitu Purwa Daksina perputaran kekanan, dan Presawiya perputaran kekiri. Perputaran Jenazah kekiri itu simbolisasi dari perjalanan menurun menuju bhuh loka atau alam bumi ini. Itulah sebabnya maka mekutang disebut dengan “Melebhu” baca melebu yang artinya menuju alam bumi ini. Dan Makna tiga kali ini adala suatu simbolisasi, dari pada mulainya perjalanan, tengah perjalanan, dan telah sampai ditempat tujuan.

8. Meletakan dipetulangan.
Ini bermakna bahwa sang Atma akan berjalan menghadap Hyang Widhi. Maka dari itu bentuk bentuk petulangan itu mempunyai suatu makna yang sangat dalam.

9. Membakar Jenazah atau pengawak sawa.
Ini mengandung arti symbolis, bahwa manusia diciptakan oleh Dewa Brahma ( Tri Murti ) dan setelah mati kembali lagi ke Dewa Brahma, atau menuju Brahma Loka.
Disamping itu juga mempunyai arti untuk mempercepat process penyatuan kembali ke unsur unsur Panca Maha Bhuta buana alit dengan unsur unsur Buwana agung.

10. Ngereka.
Mengandung makna mewujudkan kembali orang yang diabenkan itu dalam wujud yang lebih halus.

11. Sekah Tunggal.
Ini adalah pengawak atau perwujudan sarira orang yang diabenkan dalam wujud yang lebih halus. Apabila sekah tunggal itu berisi abu tulang sang pejah maka sekah ini disebut sekah asti.

12. Ngirim.
Ini adalah suatu symbolisasi melepas sang Atma menuju Bhwah loka / sering disebut dengan Nyalanang sang Atma.

13. Nganyut.
Menghanyutkan pengawak atau tawulan, sehingga menjadi lenyap – Sang Atma menuju Wisnu Loka ( menghanyutkan – ke Air ), terkadang ada suatu pengharapan semoga yang dihanyutkan itu kelak dilaut akan bertemu dengan partikelnya sungai Gangga, yang bermuara di laut.

14. Mekalamigi.
Berarti menyapsap atau membersihkan sebel kandel keluarganya. Dan membersihkan rumahnya dari sebelan.

15. Pemuput karya.
Menghaturkan rasa terimakasih serta permaklumkan bahwa Upacara Ngaben telah selesai dilakukan.

16. Ngarorasin.
Mengandung makna bahwa batas waktu sasebelan perumahan sudah selesai, dalam hal ini sering ngerorasin ini dikonotasikan dengan 12 hari setelah palebon. Maksudnya bukan demikian, karena Upakaranya yang disebut dengan Ngerorasin, karena ngerorasin ini bisa dilaksanakan segera setelah Pelebuan selesai ( catur Dresta ).

ISTILAH DALAM LOKAPALA SRAYA.

a) Ngastawa, adalah melakukan stuti dan stawa kehadapan Hyang Widi Wasa, dalam konteks kontek tertentu dalam upakara Ngaben.

b) Ngaskara adalah melakukan penyucian roch orang yang diabenkan, untuk bisa menjadi Pitara. Sebelum askara dilakukan maka rochnya disebut petara / Petala/I atau atma petara karena masih kotor, sering disebut dengan “Bhuta Cuil”

c) Narpana. Memberikan pabuktian atau bekal, di alam loka berupa hidangan, pakaian dan lain lain.

d) Mralina. Melebur atau memisahkan purusa dan prakerti orang yang diabenkan untuk dikembalikan ke sumbernya masing masing.
Purusa dikembalikan ke Maha Purusa, dan Prakerti dikembalikan ke Panca Maha Bhuta Agung. Atau dengan lain perkataan bahwa mralina melepas sang Atma.

e) Tirta – Tirta.
Tirta Penyudamala.
Pebersihan pengelukatan
Tirta Hyang Kemulan Kemimitan / Kawitan
Tirta Kahyangan Tiga
Tirta Prajapati
Pengentas
Penembak

Akan dijelaskan Pada “PITRA YADNYA” IV

Pitra Yadnya

PITRA – YADNYA – Bagian II

Pada bagian Pitra Yadnya yang ke I telah kita lewati : yaitu berkaitan dengan “Wahya” Beryadnya kepada orang tua yang masih hidup, kiranya hal ini tidak perlu diulas lebih panjang lagi karena kebanyakan yang kita terapkan adalah ilmu katon, sehingga kita bisa dengan gampang mengitrospeksi diri kita masing masing karena umumnya kita jalani hidup ini dengan cara yang realistik.

Selanjutnya mari kita bicarakan Pitra Yadnya dari segi “Adhyatmika”.
Yang tujuannya tiada lain adalah :
1. Menyucikan arwah leluhur atau Orang tua, fase pertama sehingga arwahnya bisa mencapai Bhuah loka yaitu alam Pitara. Di dalam Ngaben terdiri dari pemisahan Purusa dan prakerti Jiwatman dgn stula sarira atau badan wadag.
Jiwatman yang berasal dari Hyang Widhi dikembalikan Kembali ke Hyang Widi, dan stula sarira dikembalikan lagi ke Panca Maha Buta-agung atau alam semesta atau ini melalui proses Pralina. ( ini adalah tujuan ngaben yang pertama ).

2. Tujuan Ngaben yang kedua
Adalah untuk membayar hutang kepada orangtua / leluhur ( lihat Pitra Yadnya bagian yang I). Lihat Tri Renam.
Hutang jasa yang dimaksudkan dalam Pitre Rnam adalah : Orangtua yang mereka-reka kita sehingga kita lahir, maka itulah orangtua disebutkan dengan nama Guru Rupaka ( lihat catur guru). Orangtua adalah merupakan Dewa skala, yang menggadakan si anak, karena dengan adanya pertemuan Sukla – swanita itulah atma akan menjiwai manusia.
Inilah landasan kita berbakti setulus tulusnya terhadap Orangtua / leluhur.
Orangtua mempunyai hubungan timbal balik, yang diwjudkan dalam upacara Ngaben.
Dalam Upacara Ngaben terkandung dualisme, yaitu orangtua yang mengadakan anaknya melalui process ciptaan dan setelah orang tua meninggal, anaknya yang mengembalikan orangtuanya ke asal yang disebut dengan “Mulihing Sangkan Paran”
Demikianlah prinsip dalam ajaran Putra sesana.

Nah untuk menghilangkan kerancuan dari pada pengertian Pitra Yadnya dalam katagori Adhyatmika, selanjutnya mari kita bahas apasaja agenda yang tercakup dalam Adhyatmika ini diantaranya adalah :

1. Atiwa – tiwa
2. Ngaben
3. Mamukur
4. Ngalinghgihan Dewa Pitara.

Namun tidaklah salah, terkadang orang membicarakan Ngaben, yang dimaksud adalah kesemua rangkaian dari Upacara Adhyatmika diatas tsb, supaya tidak menimbulkan pengertian yang bias mari kita perhatikan arti & makna dari tahapan upakara tersebut diatas.

1. Atiwa – Tiwa.
Tiwa-tiwa adalah Upacara & tatacara merawat Jenazah seperti : Memandikan, memberi ramuan ramuan, mendandani, menggulung dan sebagainya yang sering kita dengar dengan acara meringkes sampai Jenazah dikuburkan ( mekingsan baik dipertiwi, maupun di geni ) sebelum dilakukan upacara ngaben.
Apabila saat itu juga dilanjutkan dengan upacara ngaben, atiwa-tiwanya sampai dengan Jenazah diletakan di balai. ( baca lontar pretekaning wong pejah )
Upacara penguburan Jenazah, adalah upacara yang sudah berjalan dari jaman pra sejarah Indonesia yang disebutkan dengan asal kata Tiwah. Konon sebutan ini masih dipergunakan oleh rekan kita yang berada di Tanah Toraja & Kalimantan Pedalaman.

2. Ngaben.
Mengenai difinisi Ngaben, sudah sering sekali titiang postingkan dalam Posting posting yang sudah lewat, baik dalam arti kata, maupun maksud dan tujuannya ( lihat posting yang sudah lewat mengenai Ngaben.
Nah Untuk Ngaben ini, akan saya jelaskan tersendiri dalam Pitra Yadnya ke IV.

3. Mamukur.
Berasal dari kata Bukur, kata bukur adalah akronim dari kata Bu (bhu) = alam sedangkan ur merupakan perpendekan dari Urdah=atas. Jadi kata bhukur berarti menuju alam atas atau swah loka.
Upacara memukur adalah merupakan penyucian Roch dalam fase ke dua., untuk mendapatkan atau mencapai swah loka, dan Upacara ini juga disebut Upacara “MALIGYA”.

4. Ngelinggihan Dewapitara.
Mgeliggihan Dewa Pitara, rangkaian upacara atmapratista, yaitu ngelinggihan roch suci yang disebut Dewapitara, yang sering disebut dengan pelinggih Kemulan kemimitan didalam Sanggah gede, merajan, Tempatnya sebelah Kanan tersendiri, ciri khasnya adalah rong tiga,
Ciri khas pelinggih : Gedong, rong, ( beratap ) adalah merupakan Stana dari pada mereka yang pernah terlahirkan. Sedangkan Padmasana ( yang tak beratap ) Stana dari Hyang Maha tunggal yang tak pernah terlahirkan.

Terkadang disuatu tempat, ada sampai sanggah / merajan kemulannya sampai berentet rentet, karena filosofinya setiap mereka yang meninggal, dibuatkan rong tiga yang baru, sehingga merajannya sampai sambung menyambung menjadi satu itulah Indonesia…..?
Terkecuali karena Populasi pamekaran maka dibuatlah merajan yang baru dimana ditempatnya yang baru tersebut jauh dari tempat sanggah gedenya.
Upacara ini / ngelinggihan ini lah disebut dengan Upacara “Nilapati”.
(menurut Loca Dresta ditempat kami Tabanan ) disini akan ada istilah seperti berikut :
Petala = Roch para leluhur yang belum menjalani fase Ngelinggihan Dewapitara.
Pitara, terkadang Betara = sebutan para roch leluhur yang sudah melaksakan fase ini.

Demikianlah tingkatan Upacara dalam Adhyatmika ini, selanjutnya sebelum membahas Ngaben itu sendiri ikutilah dulu lambang / istilah / symbolisasi dan makna dalam upacara
PITRA YADNYA KE III

Minggu, 28 Juni 2009

Pertemuan Tempek

Pertemuan tempek Sarua tanggal 28 juni 2009 di rumah Pak Agung Somadiputra. Saat itu dibahas mengenai rencana piodalan Pura Cinere dan Pura Lenteng Agung tanggal 7 Juli dan 11 Juli 2009. Kewajiban tempek pada odalan di Pura Lenteng Agung adalah membuat caru bebek angsa.


























































Minggu, 21 Juni 2009

Suatu Pengalaman

Tidak ada jeleknya saya memuat cerita percakapan seorang hamba Tuhan yang dari pengalaman tersebut lalu kemudian coba diterapkan dalam hidupnya dan menuai keberhasilan. Tidak berbeda barangkali dan ada kesamaan dengan nasehat orang tua atau para bijak yang intinya adalah :
1. Jangan lupakan orang tuamu, khususnya ibumu
2. Banyaklah memberi
3. Banyaklah menolong
4. Jangan mempermainkan wanita

Berikut cerita pengalaman lengkapnya.
Berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, saya dipertemukan dengan hamba-Nya yang satu ini. Beliau adalah seorang leader yang selalu mengayomi, memberikan bimbingan, semangat, inspirasi, ide dan gagasan segar. Beliau seorang pemimpin yang mampu menggerakkan ratusan hingga ribuan anak buahnya. Beliau seorang guru yang memiliki lautan ilmu, yang selalu siap ditimba oleh anak-anaknya dan bagai tiada pernah habis.Saat ini beliau memiliki berbagai macam bidang usaha, di antaranya sebagai supplier dan distribusi alat dan produk kesehatan, puluhan hektar tambak, puluhan hektar ladang, berpuluh rumah kos, ruko, stand penjualan di mall, apartemen dan lain-lain. Pernah saya mencoba menghitung, penghasilan beliau bisa mencapai Rp 1 Milyar per bulannya. Sebuah pencapaian luar biasa bagi saya dan kebanyakan orang lain.Pertemuan antara saya dan beliau yang saya ceritakan di bawah ini terjadi beberapa tahun yang lalu, di saat penghasilan beliau masih berkisar Rp 200 juta per bulan. Bagi saya, angka ini pun sudah bukan main dahsyatnya. Sengaja saya tidak menyebutkan namanya, karena cerita ini saya publish belum mendapatkan ijin dari beliau. Kita ambil wisdomnya saja ya.
Suatu hari, terjadilah dialog antara saya dengan beliau di serambi sebuah hotel di Bandung . Saya ingat, beliau berpesan bahwa beliau senang ditanya. Kalau ditanya, maka akan dijelaskan panjang lebar. Tapi kalau kita diam, maka beliau pun akan "tidur". Jadilah saya berpikir untuk selalu mengajaknya ngobrol. Bertanya apa saja yang bisa saya tanyakan.Sampai akhirnya saya bertanya secara asal, "Pak, Anda saat ini kan bisa dibilang sukses. Paling tidak, lebih sukses daripada orang lain. Lalu menurut Anda, apa yang menjadi rahasia kesuksesan Anda?"Tak dinyana beliau menjawab pertanyaan ini dengan serius." Ada empat hal yang harus Anda perhatikan," begitu beliau memulai penjelasannya.
RAHASIA PERTAMA
"Pertama. Jangan lupakan orang tuamu, khususnya ibumu. Karena ibu adalah orang yang melahirkan kita ke muka bumi ini. Mulai dari mengandung 9 bulan lebih, itu sangat berat. Ibu melahirkan kita dengan susah payah, sakit sekali, nyawa taruhannya. Surga di bawah telapak kaki ibu. Ibu bagaikan pengeran katon (Tuhan yang kelihatan). Banyak orang sekarang yang salah. Para guru dan kyai dicium tangannya, sementara kepada ibunya tidak pernah. Para guru dan kyai dipuja dan dielukan, diberi sumbangan materi jutaan rupiah, dibuatkan rumah; namun ibunya sendiri di rumah dibiarkan atau diberi materi tapi sedikit sekali. Banyak orang yang memberangkatkan haji guru atau kyainya, padahal ibunya sendiri belum dihajikan. Itu terbalik. Pesan Nabi : Ibumu, ibumu, ibumu... baru kemudian ayahmu dan gurumu.Ridho Allah tergantung pada ridho kedua orang tua. Kumpulkan seribu ulama untuk berdoa. Maka doa ibumu jauh lebih mustajabah." Beliau mengambil napas sejenak.
RAHASIA KEDUA
"Kemudian yang kedua," beliau melanjutkan. "Banyaklah memberi. Banyaklah bersedekah. Allah berjanji membalas setiap uang yang kita keluarkan itu dengan berlipat ganda. Sedekah mampu mengalahkan angin. Sedekah bisa mengalahkan besi. Sedekah membersihkan harta dan hati kita. Sedekah melepaskan kita dari marabahaya. Allah mungkin membalas sedekah kita dengan rejeki yang banyak, kesehatan, terhindarkan kita dari bahaya, keluarga yang baik, ilmu, kesempatan, dan lain-lain.Jangan sepelekan bila ada pengemis datang meminta-minta kepadamu. Karena saat itulah sebenarnya Anda dibukakan pintu rejeki. Beri pengemis itu dengan pemberian yang baik dan sikap yang baik. Kalau punya uang kertas, lebih baik memberinya dengan uang kertas, bukan uang logam. Pilihkan lembar uang kertas yang masih bagus, bukan yang sudah lecek. Pegang dengan dua tangan, lalu ulurkan dengan sikap hormat kalau perlu sambil menunduk (menghormat). Pengemis yang Anda beri dengan cara seperti itu, akan terketuk hatinya, 'Belum pernah ada orang yang memberi dan menghargaiku seperti ini.' Maka terucap atau tidak, dia akan mendoakan Anda dengan kelimpahan rejeki, kesehatan dan kebahagiaan.Banyak orang yang keliru dengan menolak pengemis yang mendatanginya, bahkan ada pula yang menghardiknya. Perbuatan itu sama saja dengan menutup pintu rejekinya sendiri.Dalam kesempatan lain, ketika saya berjalan-jalan dengan beliau, beliau jelas mempraktekkan apa yang diucapkannya itu. Memberi pengemis dengan selembar uang ribuan yang masih bagus dan memberikannya dengan dua tangan sambil sedikit membungkuk hormat. Saya lihat pengemis itu memang berbinar dan betapa berterima kasihnya.
RAHASIA KETIGA
"Allah berjanji memberikan rejeki kepada kita dari jalan yang tidak disangka-sangka," begitu beliau mengawali penjelasannya untuk rahasia ketiganya. "Tapi sedikit orang yang tahu, bagaimana caranya supaya itu cepat terjadi? Kebanyakan orang hanya menunggu. Padahal itu ada jalannya.""Benar di Al Quran ada satu ayat yang kira-kira artinya : Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya diadakan-Nya jalan keluar baginya dan memberinya rejeki dari jalan/pintu yang tidak diduga-duga", saya menimpali (QS Ath Thalaq 2-3)."Nah, ingin tahu caranya bagaimana agar kita mendapatkan rejeki yang tidak diduga-duga?," tanya beliau."Ya, bagaimana caranya?" jawab saya. Saya pikir cukup dengan bertaqwa, menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, maka Allah akan mengirim rejeki itu datang untuk kita."Banyaklah menolong orang. Kalau ada orang yang butuh pertolongan, kalau ketemu orang yang kesulitan, langsung Anda bantu!" jawaban beliau ini membuat saya berpikir keras. "Saat seperti itulah, Anda menjadi rejeki yang tidak disangka-sangka bagi orang itu. Maka tentu balasannya adalah Allah akan memberikan kepadamu rejeki yang tidak disangka-sangka pula.""Walau pun itu orang kaya?" tanya saya."Ya, walau itu orang kaya, suatu saat dia pun butuh bantuan. Mungkin dompetnya hilang, mungkin ban mobilnya bocor, atau apa saja. Maka jika Anda temui itu dan Anda bisa menolongnya, segera bantulah.""Walau itu orang yang berpura-pura? Sekarang kan banyak orang jalan kaki, datang ke rumah kita, pura-pura minta sumbangan rumah ibadah, atau pura-pura belum makan, tapi ternyata cuma bohongan. Sumbangan yang katanya untuk rumah ibadah, sebenarnya dia makan sendiri," saya bertanya lagi."Ya walau orang itu cuma berpura-pura seperti itu," jawab beliau. "Kalau Anda tanya, sebenarnya dia pun tidak suka melakukan kebohongan itu. Dia itu sudah frustasi karena tidak bisa bekerja atau tidak punya pekerjaan yang benar. Dia itu butuh makan, namun sudah buntu pikirannya. Akhirnya itulah yang bisa dia lakukan. Soal itu nanti, serahkan pada Allah. Allah yang menghakimi perbuatannya, dan Allah yang membalas niat dan pemberian Anda."
RAHASIA KEEMPAT
Wah, makin menarik, nih. Saya manggut-manggut. Sebenarnya saya tidak menyangka kalau pertanyaan asal-asalan saya tadi berbuah jawaban yang begitu serius dan panjang. Sekarang tinggal satu rahasia lagi, dari empat rahasia seperti yang dikatakan beliau sebelumnya."Yang keempat nih, Mas," beliau memulai.
"Jangan mempermainkan wanita".Hm... ini membuat saya berpikir keras. Apa maksudnya. Apakah kita membuat janji dengan teman wanita, lalu tidak kita tepati? Atau jangan biarkan wanita menunggu? Seperti di film-film saja."Maksudnya begini. Anda kan punya istri, atau suami. Itu adalah pasangan hidup Anda, baik di saat susah maupun senang. Ketika Anda pergi meninggalkan rumah untuk mencari nafkah, dia di rumah menunggu dan berdoa untuk keselamatan dan kesuksesan Anda. Dia ikut besama Anda di kala Anda susah, penghasilan yang pas-pasan, makan dan pakaian seadanya, dia mendampingi Anda dan mendukung segala usaha Anda untuk berhasil.""Lalu?" saya tak sabar untuk tahu kelanjutan maksudnya."Banyak orang yang kemudian ketika sukses, uangnya banyak, punya jabatan, lalu menikah lagi. Atau mulai bermain wanita (atau bermain pria, bagi yang perempuan). Baik menikah lagi secara terang-terangan, apalagi diam-diam, itu menyakiti hati pasangan hidup Anda. Ingat, pasangan hidup yang dulu mendampingi Anda di kala susah, mendukung dan berdoa untuk kesuksesan Anda. Namun ketika Anda mendapatkan sukses itu, Anda meninggalkannya. Atau Anda menduakannya."Oh... pelajaran monogami nih, pikir saya dalam hati."Banyak orang yang lupa hal itu. Begitu sudah jadi orang besar, uangnya banyak, lalu cari istri lagi. Menikah lagi. Rumah tangganya jadi kacau. Ketika merasa ditinggalkan, pasangan hidupnya menjadi tidak rela. Akhirnya uangnya habis untuk biaya sana-sini. Banyak orang yang jatuh karena hal seperti ini. Dia lupa bahwa pasangan hidupnya itu sebenarnya ikut punya andil dalam kesuksesan dirinya," beliau melanjutkan.Hal ini saya buktikan sendiri, setiap saya datang ke rumahnya yang di Waru Sidoarjo, saya menjumpai beliau punya 1 istri, 2 anak laki-laki dan 1 anak perempuan.Perbincangan ini ditutup ketika kemudian ada tamu yang datang....

Sumber dari millis tetangga

Kamis, 30 April 2009

Menangkal Guna-guna


Oleh Mangku Danu

1. Cara yang paling sederhana dan ampuh
Mantra/cara penangkal yang paling sederhana yaitu rajin sembahyang dan berjapa. Orang yg bisa kena guna-guna adalah org yang sistem kekebalan tubuhnya (baik phisik, mental, spirit) lemah.
cara paling ampuh adalah menjaga agar sistem kekebalan tubuh tetap pit dengan sembahyang dan japa.
Tapi ada cara lain yaitu dengan menggunakan mantra di bawah ini, mudah-mudahan dapat membantu semeton/umat se-Dharma semuanya. Hal ini karena sudah saya buktikan sendiri di banyak kesempatan dan juga oleh orang yg telah menggunakannya, sekali lagi ini bukan pamer tapi semata-mata untuk pasemetonan/kebaikan kita semua.

2. Mantra Brahma Gading sewu

Mantra ini di ambil dari lontar yang berjudul Usada Gading Sewu, nama gading sewu ini masih belum di temukan arti sesungguhnya. Ada yang mengartikan Kelapa Gading, ada juga yang mengatakan Bambu gading, namun bila di lihat dari penggunanya lebih mendekati Kelapa gading sebab ada air kelapa gading yang di gunakan dalam usada.
Awal lontar ini bercerita tentang Mpu Kuturan yang sangat hebat memiliki ilmu pengobatan dan spiritual sehingga amat sakti dan di takuti oleh musuh serta di seganai kawan-kawan beliau. Lontar ini berbahasa Kawi Bali dan sangat di rahasiakan oleh para balian, namun banyak yang gagal mempelajarinya di karenakan kurang peterjemah yang bagus.
· Bunyi mantra sebagai berikut:

“Ong ngadeg sanghyang Bayu ring tungtungin lidah, ang brahma gni murub kadi kala rupa anyapuh sarwa lara”,

· Langkah berikutnya tarik dan tahan nafas di NABI ( Swadistana charka ) dan hembuskan ke kelapa gading, waktu menghembuskan nafas lidah di lipat ke lagit-langit. RAHASIAKAN !!!! 7 X Baca.
· Rerajahan.
Di butuhkan tembaga tipis lalu di tulisi ( rajah Angkara )untuk di masukan dan rendam di kelapa gading dan mantra pengurip untuk rerajahan dengan mantra:

“ong Sanghyang pasupati ngadeg ring bayu, urip sarwa rerajahan, poma, poma, poma” 3X

Kegunaan:
Untuk meruwat, menghilangkan segala jenis penyakit, yang datangnya tidak di ketahui, baik dari manusia, bhuta, dan mahkluk gaib, termasuk pepasangan, bebai, dan guna-guna Caranya di minum atau pakai mandi, di isi dengan kembang PUCUK BANG

3. Mantra Brahma Sapu Jagat

Mantra ini juga lanjutan dari mantra yang di atas, di gunakan untuk melindung diri, rumah, dari gangguan makhluk halus maupun roh-roh jahat.

Bunyi mantra :

“Ong brahma metu saking kidul, gni bang saking netra, gni petak saking cangkem, gni salembang saking buana, ong urip dasa gni”, 12x.

Cara konsentrasi:
Pertama-tama rasakan kekuatan api dari alam masuk ke ubun-ubun, lalu kumpulkan di pusar sambil menahan nafas, langkah selanjutnya bawa api itu dengan niat untuk keluar dari mata dan mulut.

Kegunaan dari mantra di atas:
Apabila mau melindungi rumah atau NYENGKER buatlah serbuk dari beras, lalu baca mantra, taburkan serbuk itu di pekarangan keliling arah jarum jam terbalik.
Bila tidak ada serbuk beras bisa di gunakan ABU dari Dapur, caranya sama seperti yang di atas.
Mantra-mantra di atas bisa juga di baca untuk, pergi atau memasuki tempat kuburan, dan angker, karena sesungguhnya mantra itu anugrah dari Dewa Siwa.

Om Santih Santih Santih Om …..

Sumber: Mangku Danu

Rabu, 22 April 2009

Perempuan Hindu

Om Swastyastu…..


WANITA MENURUT PANDANGAN HINDU


Oleh Jro Mangku Istri Putu Suponi

Hemm … Biasanya, sangatlah jarang Wanita / Istri Hindu muncul dalam suatu publik, apakah memang demikian…......................….. ? Kalau toh memang benar agak sulit untuk menulusuri sebenarnya apasih yang menyebabkan demikian,...............................................….. ?
Lebih lebih lagi kalau beliau itu statusnya sebagai pemangku istri, adalah sangat jarang untuk muncul tegar didepan publik, apakah karena kesibukan, sesananing pemangku, atau sudah memang sudah dari dulu culture Luh Luh Bali, ada sesonggan ede sube sekolah tinggi tinggi, paling akhirnya ke dapur……...................................... ?
apakah memang ditakdirkan sudah demikian…............................… ?

Wanita sangat diperhatikan sebagai penerus keturunan dan sekaligus sarana terwujudnya Punarbhava atau re-inkarnasi, sebagai salah satu srada (kepercayaan/ keyakinan) Hindu. Sejak mengalami menstruasi pertama, seorang wanita sudah dianggap dewasa, dan juga merupakan ciri/tanda bahwa ia mempunyai kemampuan untuk hamil. Oleh karena itu peradaban lembah sungai Indus di India sejak beribu tahun lampau senantiasa menghormati dan memperlakukan wanita secara hati-hati terutama ketika ia menstruasi. Wanita yang sedang menstruasi dijaga tetap berada didalam kamar agar terlindung dari mara bahaya.

Lihatlah kisah Mahabharata ketika Drupadi, istri Pandawa, yang sedang menstruasi menjadi korban taruhan kekalahan berjudi Dharmawangsa dari Pandawa melawan Sakuni di pihak Korawa. Ia diseret keluar dan coba ditelanjangi oleh Dursasana di depan sidang. Dewa Dharma melindungi Drupadi sehingga kain penutup badan Drupadi tidak pernah habis, tetap melindungi tubuh walau bermeter-meter telah ditarik darinya. Sejak awal Drupadi sudah mengingatkan Dursasana, bahwa ia sedang haid, tidak boleh diperlakukan kasar dan dipaksa demikian. Akhirnya dalam perang Bharatayuda, Dursasana dibinasakan Bima, dan Drupadi menebus kaul dengan mencuci rambutnya dengan darah Dursasana.

Wanita yang sedang menstruasi harus diperlakukan khusus karena di saat itu ia memerlukan ketenangan phisik dan mental. Namun perkembangan tradisi beragama Hindu di Bali menjadi berbeda, seperti yang disebutkan dalam Lontar Catur Cuntaka, bahwa wanita yang sedang haid tergolong "cuntaka" atau "sebel" atau dalam bahasa sehari-hari disebut kotor, sehingga ia dilarang sembahyang atau masuk ke Pura. Ini perlu diluruskan sesuai dengan filosofi Hindu yang benar.

Wanita dewasa hendaknya dinikahkan dengan cara-cara yang baik, sesuai dengan Kitab Suci Manava Dharmasastra III. 21-30, yaitu menurut cara yang disebut sebagai Brahmana, Daiva, Rsi dan Prajapati. Brahmana wiwaha adalah pernikahan dengan seorang yang terpelajar dan berkedudukan baik; Daiva wiwaha adalah pernikahan dengan seorang keluarga Pendeta; Rsi wiwaha adalah pernikahan dengan mas kawin; dan Prajapati wiwaha adalah pernikahan yang direstui oleh kedua belah pihak.

Di masyarakat Hindu modern dewasa ini sering ditemui cara perkawinan campuran dari cara-cara yang pertama, ketiga dan keempat. Singkatnya, perkawinan yang baik adalah dengan lelaki yang berpendidikan, berbudi luhur, berpenghasilan dan disetujui oleh orang tua dari kedua pihak. Selanjutnya dalam Kitab Suci itu juga diulas bahwa pernikahan adalah "Dharma Sampati" artinya "tindakan Dharma" karena melalui pernikahan, ada kesempatan re-inkarnasi bagi roh-roh leluhur yang diperintahkan Hyang Widhi untuk menjelma kembali sebagai manusia.
Dalam tinjauan Dharma Sampati itu terkandung peranan masing-masing pihak yaitu suami dan istri yang menyatu dalam membina rumah tangga. Istri disebut sebagai pengamal Dharma dan suami disebut sebagai pengamal Shakti.

Peranan istri dapat dikatakan sebagai pengamal Dharma, karena hal-hal yang dikerjakan seperti mengandung, melahirkan, memelihara bayi dan seterusnya mengajar dan mendidik anak-anak, mempersiapkan upacara-upacara Hindu di lingkungan rumah tangga, menyayangi suami, merawat mertua, dan lain-lain. Peranan suami dapat dikatakan sebagai pengamal Shakti, karena dengan kemampuan pikiran dan jasmani ia bekerja mencari nafkah untuk kehidupan rumah tangganya. Kombinasi antara Dharma dan Shakti ini menumbuh-kembangkan dinamika kehidupan. Oleh karena itu pula istri disebut sebagai "Pradana" yang artinya pemelihara, dan suami disebut sebagai "Purusha" artinya penerus keturunan.

Bila perkawinan disebut sebagai Dharma, maka sesuai hukum alam (Rta): rwa-bhineda (dua yang berbeda), maka ada pula yang disebut Adharma. Dalam hal ini perceraian adalah Adharma, karena dengan perceraian, timbul kesengsaraan bagi pihak-pihak yang bercerai yaitu suami, istri, anak-anak, dan mertua. Maka dalam agama Hindu, perceraian sangat dihindari, karena termasuk perbuatan Adharma atau dosa.

Istri harus dijaga dengan baik, disenangkan hatinya, digauli dengan halus sesuai dengan hari-hari yang baik sebagaimana disebut dalam

Manava Dharmasastra III.45:
Rtu kalabhigamisyat,
Swadharaniratah sada,
Parvavarjam vrajeksainam,
Tad vrato rati kamyaya".

Hendaknya suami menggauli istrinya dalam waktu-waktu tertentu dan merasa selalu puas dengan istrinya seorang, ia juga boleh dengan maksud menyenangkan hati istrinya mendekatinya untuk mengadakan hubungan badan pada hari-hari yang baik

Selanjutnya MD III.55:
Pitrbhir bhatrbhis,
Caitah patibhir devaraistatha,
Pujya bhusayita vyasca,
Bahu kalyanmipsubhih.

Istri harus dihormati dan disayangi oleh mertua, ipar, saudara, suami dan anak-anak bila mereka menghendaki kesejahteraan dirinya.
Ucapan sorga ada di tangan wanita bukanlah suatu slogan kosong, karena ditulis dalam

MD.III.56:
Yatra naryastu pujyante,
Ramante tatra devatah,
Yatraitastu na pujyante,
Yarvastatraphalah kriyah.

Di mana wanita dihormati, di sanalah para Dewa-Dewa merasa senang, tetapi di mana mereka tidak dihormati, tidak ada upacara suci apapun yang akan berpahala.

Lebih tegas lagi dalam sloka berikutnya:
MD.III. 57 :
Socanti jamayo yatra,
Vinasyatyacu tatkulam,
Na socanti tu yatraita,
Vardhate taddhi sarvada.

Di mana wanita hidup dalam kesedihan,
keluarga itu akan cepat hancur,
tetapi di mana wanita tidak menderita,
keluarga itu akan selalu bahagia.

Orang yang Putusasa adalah mereka yang tidak mampu mengambil Hikmah dari suatu kejadian, akhirnya hanya menyalahkan karunia Tuhan.

Selamat hari Kartini untukmu perempuan Indonesiaku – semoga memberi inspirasi.

Om Santih Santih Santih Om …..

Sumber: JMS

Selasa, 21 April 2009

Merawat Tubuh agar Sehat

http://gagakayu.blogspot.com/2009/04/sayangi-mahkotamu.html

Merawat Tubuh agar Sehat

TUBUH perempuan adalah tubuh yang sangat rentan. Bila Anda tidak bisa merawatnya dengan baik, maka tubuh Anda akan tidak menarik. Kusam dan tentu saja mengurangi rasa percaya diri Anda bila tampil di depan publik. Berikut langkah sederhana yang bisa Anda lakukan untuk merawat tubuh Anda.

Selanjutnya
http://batankelecung.blogspot.com/2009/04/menjadikan-kulit-halus.html

Minggu, 19 April 2009

Berita Pertemuan April 2009

Om Swastyastu,

Pertemuan T Sarua tanggal 19 April 2009 di rumah Bpk Nyoman Pudja, yang diawali persembahyangan dipimpin Mangku N. Wintha membahas beberapa hal antara lain, pendataan keanggotaan, informasi program dan anggaran, keanggotaan Yay. Pitra Yadnya, Iuran anggota dsbnya.
Disepakati beberapa keputusan sebagai berikut :
1. Seluruh warga T Sarua menjadi anggota Yay. Pitra Yadnya
2. Dalam mendukung program kegiatan yang dilaksanakan, warga sepakat untuk meningkatkan iuran menjadi Rp25.000,- termasuk iuran kepada Yay. Pitra Yadnya sebesar Rp10.000,-
3. Pendaftaran anggota ke Yay. dibantu pengurus dilaksanakan bulan Juni 2009
Disamping itu di informasikan bahwa Parisada DKI Jakarta akan mengadakan Dharma Santi di Pura Aditya Jaya Rawamangun tanggal 26 April 2009.

Om Shanti, Shanti, Shanti, Om

Sabtu, 18 April 2009

Satria Klungkung


Om Awighanam Astu Namah Siwa Buddhaya.
Penulisan sejarah suatu desa tidak dapat dipisahkan dengan keadaan/situasi jaman atau kerajaan, baik keadaan yang lebih dahulu dan sesudahnya sehingga merupakan rangkaian yang tak terputuskan, sehingga saling mengkait antara satu dengan yang lainnya. Namun dalam pengumpulan data memang banyak menemui hambatan karena kurangnya catatan-catatan secara kronologis dan informasi yang mendukung. Kendatipun demikian dengan keterbatasan data dan informasi kami mencoba menulis sejarah keberadaan Desa Satria, yang dikumpulkan dari babad atau sejarah yang ada dan informasi para orangtua/leluhur yang secara turun-temurun menceritakan tentang keberadaan Desa Satria itu yang terbagi 4 tahapan utama yaitu :
  1. Masa akhir zaman Kerajaan Gelgel tahun 1630-1677.
  2. Masa Kerajaan Klungkung tahun 1677-1908.
  3. Masa penjajahan Belanda dan Jepang tahun 1908-1945.
  4. Masa Kemerdekaan R I sampai sekarang tahun 1945 sampai sekarang
1. Masa akhir kerajaan Gelgel tahun 1630-1677.
Dalem Dimade Dinobatkan menjadi raja Gelgel ke V1, sebagai pelanjut Dinasti Sri Kresna Kepakisan pada tahun 1630 menggantikan Dalem Segening, Patih Agung Kryan Agung Maruti Sebagai patih utama , mengadakan pemberontakan terhadap raja karena intrik dari para pembesar kerajaan tahun 1651 sehingga Dalem Dimade beserta putra dan para pengiring setia mengungsi ke Guliang Bangli. Kendatipun Gelgel dikuasai oleh Kryan Agung Maruti, namun para penguasa wilayah diluar Gelgel tidak mengakui sebagai raja Bali. Atas upaya Anglurah Sidemen pada tahun 1677 setelah 26 tahun Gelgel dibawah kekuasaan Kryan Dalem Maruti, dilaksanakan penyerangan kembali atas Gelgel bersama sama dengan para penguasa wilayah yang masih setia terhadap raja Dalem Dimade. Dengan kesepakatan yang diambil dalam pertemuan di Ulah Sidemen dibawah pimpinan Ida I Dewa Jambe putra dari Dalem Dimade penyerangan atasGelgel dilaksanakan dari segala penjuru yakni dari Selatan dengan bermarkas disebelah barat Jumpai dibawah pimpinan perang I Gusti Ngurah Pemedilan dari Badung, dari arah barat laut oleh pasukan Denbukit dibawah pimpinan I Gusti Panji Sakti dengan Panglima perang KiTambang Sampan dengan Taruna Goaknya bermarkas di Penasan Aji. Sedangkan dari arah utara – timur laut pasukan Sidemen, Bangli dan Bengkel dibawah pimpinanAnglurah Sidemen bermarkas disebelah selatan Desa Sumpulan (Paksebali sekarang), pada suatu wilayah bengang yang disebut wilayah kekeran (keker =kokoh =benteng = markas komando). Karena dari sini seluruh penyerangan atas Gelgel dikordinasikan, Ida I Dewa Jambe bermarkas di Dawan dengan pasukan dibawah kawalan Pangaren Paketan. Perang tak dapat dielakkan yang berakhir dengan larinya Maruti kedaerah Jimbaran dan Gelgel dibumi hanguskan sampai rata dengan tanah.
2. Masa kerajaan Klungkung tahun 1677-1908.
Dengan hancurnya Gelgel, maka atas prakarsa Anglurah Sidemen dan saran Ida Pedanda Gede Buruan, karena Gelgel sering mengalami pemberontakan-pemberontakan maka istana kerajaan dibangun didesa Klungkung sebelah utara Gelgel dan selama pembangunan istana Ida I Dewa Jambe beristana di Ulah Sidemen. Setelah 9 tahun pembangunan pada tahun 1686 istana kerajaan selesai dinamakan Semarajaya sedangkan ibukota kerajaan dinamai Semarapura. Pada saat I Dewa Jambe dinobatkan sebagai raja Klungkung I bergelar Ida I Dewa Agung Jambe dan gelar Dalem mulai ditanggalkan. Beliau berputra 3 orang laki-laki yaitu tertua Ida I Dewa Agung Made, penengah Ida I Dewa Agung Anom, dan yang bungsu Ida I Dewa Agung Ketut Agung. Sebagai pengganti raja adalah Ida I Dewa Agung Made yang dinobatkan pada tahun 1705, sebagai raja Klungkung yang kedua. Sedangkan adik beliau Ida I Dewa Agung Anom menjadi raja Sukawati Gianyar yang dinobatkan pada tahun 1711 dan Ida I Dewa Agung Ketut Agung kembali ke Gelgel beristana dikarang Kepatihan, bekas tempat tinggal Kryan Agung Maruti sebelah utara pasar Gelgel (Puri Kanginan Gelgel sekarang). Diceritakan Ida I Dewa Agung Made memperistri putri raja Karangasem bernama I Gusti Ayu Karang dengan abiseka Ida I Dewa Agung Istri Karang Didalem pada tahun 1711 dan mengangkat putra bernama Ida I Dewa Agung Gede beribu dari Diah Pegambuhan beristana di Puri Agung Denpasar (Komplek BRI,Kantor PU dan Jawatan Pegadaian sekarang serta Taman Lila Arsana). Sedang putra raja kedua Ida I Dewa Agung Made beribu dari Gunaksa diangkat putra oleh permaisuri berasal dari putri raja Mengwi abiseka Ida I Dewa Agung Istri Pacung dan putra ketiga Ida I Dewa Agung Ketut Rai beristana di Akah. Dengan adanya 2 putra mahkota jelas akan terjadi kesalah pahaman, siapa pengganti raja Klungkung dikemudian hari. Keributanpun tak bisa dihindarkan, maka terjadilah puncak perselisihan ketika dilaksanakan sabungan ayam di Bencingah Puri Agung Denpasar (komplek pasar senggol dan tragia) yang berakhir dengan adanya perang antara kedua pihak. Namun dengan diketahui Ida I Dewa Agung Gede mendapat bantuan dari pihak raja Karangasem, maka rakyat Klungkung memihak kepada Ida I Dewa Agung Dimadya. Dengan keadaan yang demikian itu Ida I Dewa Agung Gede menuju Puri Akah memberitahukan hal tersebut dan akhirnya beliau menetap di Desa Talibeng yaitu wilayah kekuasaannya. Tahun 1754 atas permintaan raja Karangasem I Gusti Ketut Karangasem paman beliau wilayah Talibeng dan sekitarnya seperti Lebu, Tohjiwa, Temage, Cegeng, Sangkanhaji, Pemurugan ditukar dengan wilayah Tamanbali daerah kekuasaan Karangasem yang dikalahkan pada tahun 1750. Dengan hal itu Ida I Dewa Agung Gede menjadi raja Tamanbali mulai tahun 1754. Selama 16 tahun beliau berkuasa di Tamanbali akhirnya mangkat karena usia lanjut. Dalam persiapan upacara pretiwa (pelebon), putra beliau Ida I Dewa Agung Gede Putra menghadap ke Semarapura untuk memohon pinjam selonding tapi ditolak karena akan dipakai. Maka tepat pada hari pelebon di Tamanbali, raja Klungkung Ida I Dewa Agung Made juga diupakarakan atiwa-tiwa oleh putra-putra beliau. Mungkin ini titah Ida Sang Hyang Widhi Wasa, ini terjadi tahun 1770. Pada tahun 1776 atas prakarsa I Dewa Manggis Karang, raja Gianyar yang ke IV, diseranglah Tamanbali yang dipimpin oleh putra I Dewa Gede Tangkuban mantan raja Tamanbali yang dikalahkan oleh Karangasem. Dengan hal tersebut masyarakat Tamanbali sebagian besar memihak kepada putra mahkota raja yang bernama I Dewa Raka dan I Dewa Gde Rai, sehingga melihat gelagat itu Ida I Dewa Agung Gde Putra kembali menuju Klungkung bersama dengan rakyat yang setia. Setibanya di Klungkung, istana Puri Agung Denpasar ditempati oleh I Dewa Agung Panji, putra tertua dari Ida I Dewa Agung Made beribu dari Denbukit. Karena tidak ada tempat akhirnya diputuskan menuju Karangasem meminta pertimbangan kepada paman beliau. Tidak begitu lama di Amlapura beliau disarankan untuk kembali ke Klungkung, tapi beliau sangat malu untuk ke Semarapura. Namun sebelum sampai di Semarapura beliau beristirahat karena waktu menjelang malam disuatu wilayah antara desa Sampalan Tengah dan Sampalan Kaja (daerah bengang , wilayah Kekeran, bekas markas komando pada saat penyerangan Gelgel). Akhirnya daerah ini dipakai puri dengan pemukimanya dan setelah selesai diberi nama Desa Satria dengan batas disebelah utara sampalan kaja disebelah timur Desa Gunaksa, disebelah selatan Desa Sampalan Tengah dan disebelah barat Tukad Unda. Dengan selesainya pemukiman ini didasari atas catur pata dan asta bumi, kaum puri berada disebelah timur perempatan Agung maka dinamai Puri Kanginan Desa Satria. Setelah lama desa ini banyak dihuni, datanglah dari Puri Agung Semarajaya putra Ida I Dewa Agung Made yang beribu dari Sampalan. Bernama Ida Cokorda Gede Raka membangun puri sebelah barat perempatan Agung dinamai puri Kawan dan demikian juga adanya Puri kaleran Desa Satria, karena putra dari Ida I Dewa Agung Panji bernama Ida Cokorda Gede Mayun mbangun puri disebelah utara perempatan Agung Desa Satria. Pada saat pembangunan pemukiman di desa Satria, desa sekitarnya sudah ada terlebih dahulu seperti desa Sampalan Kaja ( Paksebali Sekarang) Pura dalem Kenanga (sebelumnya bernama Dalem Puri) berlokasi di Sampalan Tengah. Sedangkan Desa Adat Satria kendatipun berlokasi di Sampalan Tengah, sekitar Desa Adat Sampalan tetapi tidak termasuk dijajarannya.Sekarang dikisahkan di Puri Agung Kanginan Satria , Ida I Dewa Agung Gede Putra dan permaisurinya bernama I Dewa Agung Istri Muter tidak berputra, sehingga beliau mengangkat putra dari Puri Agung Semarajaya putra dari Ida I Dewa Agung Sakti yang beribu adik dari Ida I Dewa Agung Gede Putra bernama Ida I Dewa Agung Gde Rai, berarti putra angkatnya ini adalah keponakan beliau sendiri dengan para pengiringnya yakni I Dewa Ketut Babakan, dengan Bagawanta Ida Pedanda Gde Kemenuh dari Gria Kamasan. Disamping itu beliau juga membangun pasar yang berada disebelah selatan bencingah bernama pasar Satria (sekarang SD. NO.2 Paksebali). Pada saat ini atas petunjuk Ida Pedanda Gde Kemenuh beliau mulai membangun pemerajan Agung dan nuur Ida Betara Dalem Agung di Klungkung, dan diistanakan di Pura Dalem Agung Satria yang berlokasi di desa Paksebali (sekarang).
3. Masa penjajahan Belanda dan Jepang .
Dengan kekalahan Klungkung dalam perang Puputan tanggal 28 April 1908 secara langsung kerajaan Klungkung dibawah pemerintahan Hindia Belanda. Dengan stb. 1929 no. 226 Belanda membentuk 8 negara di Bali, termasuk Klungkung dan negara ini disebut Zalf Landscapen/ swapraja sampai ketingkat bawah (desa) sehingga desa adat yang ada langsung menjadi desa perbekelan (sebutan bali) . Begitu juga kekalahan Belanda oleh Jepang, akan tetapi sistem pemerintahan tetap Bali sesuai dengan Agama Hindu.
4. Masa Kemerdekaan RI tahun 1945 sampai sekarang.Dalam masa kemerdekaan setelah Jepang bertekuk lutut dengan Sekutu, pemerintahaan tetap dengan sistem lama (perbekelan) , yakni pemerintahan di desa dipegang oleh Perbekel dengan pembantu- pembantunya disebut pengliman yang langsung juga menjadi kelian banjar di masing- masing banjarnya, yang mempunyai tugas rangkap baik di bidang administrasi pemerintahaan dan masalah adat istiadat termasuk keagamaannya.
Dengan dikeluarkannya UU Pemerintahan Desa No 5 tahun 1979 Pemerintahan Desa terjadi dualisma pemerintahan di desa pekraman dengan adanya desa dinas dan desa adat dengan segala perangkatnya. Keluarnya UU No 5/1979 Desa Satria berstatus desa perbekelan dengan Perbekel Ida Anak Agung Putu Tupug dari Puri Kawan Satria. Karena adanya gejolak politik menjelang meletusnya G. 30 S maka pada awal 1963 pemerintahan desa diserahkan kepada Pemerintahan Daerah TK. II Klungkung yang pada saat itu dijabat oleh Bupati Tjokorda Anom Putra dan warga masyarakat desa Satria dalam urusan surat menyurat kedinasan dilimpahkan di bawah perbekelan Desa Paksebali dibawah I Gusti Made Geria.
Sumber Pustaka.
1. Perang Jagaraga (1846-1849) oleh Dr Sugiyanto Sostrodiwiryo.
2. I Gusti Panji Sakti Raja Buleleng 1599-1680.
3. Kupu- Kupu kuning yang terbang di Selat Lombok oleh A. A. Ketut Agung.
(Lintasan sejarah kerajaan Karangasem 1667-1950).
4. Bangli Tempo dulu oleh I Wayan Sringgin Wikraman.
5. Babad Dalem – milik Ida Bagus Rai Pidada.
6. Sejarah Klungkung sampai dengan Puputan Klungkung oleh Ida Bagus RaiPidada.
7. Arsip pemerintahan Perbekelan Satria.
8. Catatan babad/ sejarah milik orangtua Penulis.
RESUME :
Masa akhir Pemerintahan Raja Gelgel Ida Dalem Dimade pada tahun 1651, (dengan adanya pemberontakan oleh Kryan Agung Maruti) dan beliau mangkat di Guliang.
Atas desakan Anglurah Sidemen terhadap Ida I Dewa Jambe putra dari Dalem Dimade dan kesepakatan para penguasa wilayah yang masih setia terhadap Dalem, Gelgel digempur dari segala arah.
Sebagai pusat komando adalah markas/ benteng yang berada disebelah selatan Desa Sumpulan (Paksebali) disebut karang kekeran (benteng, keker= kokoh) tempat para Kesatria mengatu strategi dalam perang Gelgel tahun 1677.
1. Masa pemerintahan Kerajaan Klungkung, Raja Klungkung ke II Ida Dewa Agung Dimadya (Made) mengangkat 2 orang putra mahkota yaitu Ida I Dewa Agung Gede diangkat oleh permaisuri dari putra raja Karangasem dan Ida I Dewa Agung Made diangkat oleh permaisuri dari putra raja Mengwi Dengan adanya 2 putra mahkota, terjadi kesalahanpahaman dan terjadilah perselisihan yang memuncak dengan mengungsinya Ida Idewa Agung Gede ke desa Talibeng dan akhirnya ke Tamanbali sebagai raja setelah ditukar oleh raja Karangasem dengan wilayah Talibeng pada tahun 1754.Pada tahun 1770, Tamanbali diserang oleh putra mahkota raja Tamanbali I Dewa Tangkuban, akhirnya putra dari Ida I Dewa Agung Gede pergi ke Klungkung dan lanjut ke Karangsem. Tidak lama di Karangasem disarankan pulang ke Klungkung oleh pamannya dan membangun pemukiman diwilayah Kekeran disebelah selatan desa Sumpulan dinamakan desa Satria, yaitu tempat berkumpulnya para kesatria dalam mengatur strategi dalam perang melawan Gelgel tahun 1677 lalu.
Sumber agung dwi blog