Rabu, 22 Juli 2009

Pitra Yadnya

PITRA – YADNYA – Bagian II

Pada bagian Pitra Yadnya yang ke I telah kita lewati : yaitu berkaitan dengan “Wahya” Beryadnya kepada orang tua yang masih hidup, kiranya hal ini tidak perlu diulas lebih panjang lagi karena kebanyakan yang kita terapkan adalah ilmu katon, sehingga kita bisa dengan gampang mengitrospeksi diri kita masing masing karena umumnya kita jalani hidup ini dengan cara yang realistik.

Selanjutnya mari kita bicarakan Pitra Yadnya dari segi “Adhyatmika”.
Yang tujuannya tiada lain adalah :
1. Menyucikan arwah leluhur atau Orang tua, fase pertama sehingga arwahnya bisa mencapai Bhuah loka yaitu alam Pitara. Di dalam Ngaben terdiri dari pemisahan Purusa dan prakerti Jiwatman dgn stula sarira atau badan wadag.
Jiwatman yang berasal dari Hyang Widhi dikembalikan Kembali ke Hyang Widi, dan stula sarira dikembalikan lagi ke Panca Maha Buta-agung atau alam semesta atau ini melalui proses Pralina. ( ini adalah tujuan ngaben yang pertama ).

2. Tujuan Ngaben yang kedua
Adalah untuk membayar hutang kepada orangtua / leluhur ( lihat Pitra Yadnya bagian yang I). Lihat Tri Renam.
Hutang jasa yang dimaksudkan dalam Pitre Rnam adalah : Orangtua yang mereka-reka kita sehingga kita lahir, maka itulah orangtua disebutkan dengan nama Guru Rupaka ( lihat catur guru). Orangtua adalah merupakan Dewa skala, yang menggadakan si anak, karena dengan adanya pertemuan Sukla – swanita itulah atma akan menjiwai manusia.
Inilah landasan kita berbakti setulus tulusnya terhadap Orangtua / leluhur.
Orangtua mempunyai hubungan timbal balik, yang diwjudkan dalam upacara Ngaben.
Dalam Upacara Ngaben terkandung dualisme, yaitu orangtua yang mengadakan anaknya melalui process ciptaan dan setelah orang tua meninggal, anaknya yang mengembalikan orangtuanya ke asal yang disebut dengan “Mulihing Sangkan Paran”
Demikianlah prinsip dalam ajaran Putra sesana.

Nah untuk menghilangkan kerancuan dari pada pengertian Pitra Yadnya dalam katagori Adhyatmika, selanjutnya mari kita bahas apasaja agenda yang tercakup dalam Adhyatmika ini diantaranya adalah :

1. Atiwa – tiwa
2. Ngaben
3. Mamukur
4. Ngalinghgihan Dewa Pitara.

Namun tidaklah salah, terkadang orang membicarakan Ngaben, yang dimaksud adalah kesemua rangkaian dari Upacara Adhyatmika diatas tsb, supaya tidak menimbulkan pengertian yang bias mari kita perhatikan arti & makna dari tahapan upakara tersebut diatas.

1. Atiwa – Tiwa.
Tiwa-tiwa adalah Upacara & tatacara merawat Jenazah seperti : Memandikan, memberi ramuan ramuan, mendandani, menggulung dan sebagainya yang sering kita dengar dengan acara meringkes sampai Jenazah dikuburkan ( mekingsan baik dipertiwi, maupun di geni ) sebelum dilakukan upacara ngaben.
Apabila saat itu juga dilanjutkan dengan upacara ngaben, atiwa-tiwanya sampai dengan Jenazah diletakan di balai. ( baca lontar pretekaning wong pejah )
Upacara penguburan Jenazah, adalah upacara yang sudah berjalan dari jaman pra sejarah Indonesia yang disebutkan dengan asal kata Tiwah. Konon sebutan ini masih dipergunakan oleh rekan kita yang berada di Tanah Toraja & Kalimantan Pedalaman.

2. Ngaben.
Mengenai difinisi Ngaben, sudah sering sekali titiang postingkan dalam Posting posting yang sudah lewat, baik dalam arti kata, maupun maksud dan tujuannya ( lihat posting yang sudah lewat mengenai Ngaben.
Nah Untuk Ngaben ini, akan saya jelaskan tersendiri dalam Pitra Yadnya ke IV.

3. Mamukur.
Berasal dari kata Bukur, kata bukur adalah akronim dari kata Bu (bhu) = alam sedangkan ur merupakan perpendekan dari Urdah=atas. Jadi kata bhukur berarti menuju alam atas atau swah loka.
Upacara memukur adalah merupakan penyucian Roch dalam fase ke dua., untuk mendapatkan atau mencapai swah loka, dan Upacara ini juga disebut Upacara “MALIGYA”.

4. Ngelinggihan Dewapitara.
Mgeliggihan Dewa Pitara, rangkaian upacara atmapratista, yaitu ngelinggihan roch suci yang disebut Dewapitara, yang sering disebut dengan pelinggih Kemulan kemimitan didalam Sanggah gede, merajan, Tempatnya sebelah Kanan tersendiri, ciri khasnya adalah rong tiga,
Ciri khas pelinggih : Gedong, rong, ( beratap ) adalah merupakan Stana dari pada mereka yang pernah terlahirkan. Sedangkan Padmasana ( yang tak beratap ) Stana dari Hyang Maha tunggal yang tak pernah terlahirkan.

Terkadang disuatu tempat, ada sampai sanggah / merajan kemulannya sampai berentet rentet, karena filosofinya setiap mereka yang meninggal, dibuatkan rong tiga yang baru, sehingga merajannya sampai sambung menyambung menjadi satu itulah Indonesia…..?
Terkecuali karena Populasi pamekaran maka dibuatlah merajan yang baru dimana ditempatnya yang baru tersebut jauh dari tempat sanggah gedenya.
Upacara ini / ngelinggihan ini lah disebut dengan Upacara “Nilapati”.
(menurut Loca Dresta ditempat kami Tabanan ) disini akan ada istilah seperti berikut :
Petala = Roch para leluhur yang belum menjalani fase Ngelinggihan Dewapitara.
Pitara, terkadang Betara = sebutan para roch leluhur yang sudah melaksakan fase ini.

Demikianlah tingkatan Upacara dalam Adhyatmika ini, selanjutnya sebelum membahas Ngaben itu sendiri ikutilah dulu lambang / istilah / symbolisasi dan makna dalam upacara
PITRA YADNYA KE III

Tidak ada komentar: